Jadi anda harus menjadi manusia yang mujtahid.
Itiba boleh, ngikut boleh, tapi anda harus paham persis apa yang
harus anda ikuti. Nah, yang terjadi sekarang kan taklid mbak. Satu ngetut (mengikuti-jawa-red)
ini, semua ngetut ini. Yang satu nuduh itu, sedang lainnya nuduh itu. Manut
grubyuk (membebek buta) kalau bahasa jawanya. Atau seperti peribahasa rubuh-rubuh
gedang (roboh beruntun layaknya pohon pisang)”.
Cak Nun mencontohkan, bagaimana fenomena rokok di
Indonesia telah menjadi tema yang terus-menerus dituding negatif. Iklan-iklan
korporat swasta maupun pemerintah rajin menulis tentang bahayanya, bahkan
belakangan kian lantang dengan meneriakkan kalimat “Merokok Membunuh Anda”.
Padahal apabila digali lebih dalam, rokok bukan satu-satunya bahan yang membuat
orang dijelang kematian. Segala hal yang didunia ini berpeluang untuk
menyebabkan kematian itu. Dari asap kendaraan, polusi pabrik, hingga konsumsi
gula. Hal yang kerap dijadikan fokus bahasan, justru pada produknya, buka cara
menggunakan produk itu. Apakah sesuai dengan taraf kewajaran bagi tubuh atau
tidak. Jika kemudian rokok mengemuka menjadi persoalan besar kesehatan tubuh
manusia, tentu harus diteliti kembali apa motif dibalik kampanye besar-besaran
tersebut.
“Kalau ada yang mengatakan bahwa ahlul hisap (perokok-red)
itu karena komitmen kepada produk yang ditindas, buktinya sekarang saya ndak merokok
selama masuk Mizan ndak masalah. Jadi saya ndak merokok itu ndak masalah.
Apa saja, asal anda tidak maniak itu anda tidak masalah. Kalau anda
berlebihan itu jadi masalah. Jadi yang membunuh bukan hanya rokok, tapi nasi
juga membunuhmu, apa saja bisa membunuhmu. Cintapun bisa membunuhmu. Kalau kamu
ingin tidak mati, hanya satu caranya, jangan hidup. Jadi, saya kasihan sama
rokok. Lha wong knalpot saja ndak dikasih peringatan,
polusi pabrik ndak dikasih peringatan dan tidak dibilang membunuh.
Tapi rokok dibilang membunuh. Atau gula, sudah jelas banyak orang sakit gula,
berjuta-juta tapi gulanya tidak diapa-apain. Jadi ada diskriminasi yang luar
biasa”. Kemudian Cak Nun melanjutkan, “Ini bukan soal rokoknya. Maksud saya ini
supaya kita tidak berhenti pada pengetahuan-pengetahuan pakem saja. Anda harus
tetap mencari terus. Anda harus berijtihad terus. Karena dalam islam kan cuma
3, ijtihad, itiba, taklid”.
Bahasan mengenai rokok tersebut dilengkapi dengan
pengalaman Cak Nun yang pernah didatangi oleh rombongan peneliti kretek. Pada
satu kesempatan, di Jogja, berkumpullah orang-orang yang memiliki hasil
penelitian akademis-ilmiah mengenai rokok kretek. Hasil riset itu menyebut,
bahwa rokok kretek itu sebetulnya bukan konsumsi layaknya makanan. Namun lebih
merupakan solusi pengobatan untuk penyakit-penyakit yang menyangkut tenggorokan
dan nafas. Penemuan mengenai kesimpulan itu terjadi pada tahun 1963.
“Tapi syaratnya, tembakau itu harus dengan cengkeh.
Lalu minuman kopi dijadikan sebagai aktivatornya. Harus ada kopinya. Kalo
merokok cengkeh, eh, kretek dipadu dengan teh nanti makin sakit. Anda
sakit. Tapi kalo dengan kopi anda menjadi plus”.
Konsentrasi kepada Allah
Lebih jauh Cak Nun mengajak hadirin diskusi sore
itu, untuk membenahi sikap dengan kembali serius meletakkan Allah sebagai
konsentrasi utamanya. Saat melakukan kegiatan apapun tujuan primernya adalah
Allah, bukan yang lain. Dimasa kini, banyak yang tergelincir dan keliru fokus,
sehingga hubungan dengan Allah tertutupi oleh hadirnya pihak lain. Ustadz,
kyai, organisasi keagamaan, imam-imam masjid, pimpinan politik, hadir lebih
dominan sebagai pihak yang dijadikan fokus tendensi kepatuhan umat. Akibatnya,
Allah kerapkali menjadi pihak yang tidak lagi ada sebagai tujuan pokok dalam
beraktifitas apapun.
Topik tersebut mengalir pada sebuah pengalaman,
ketika tahun 1990 Cak Nun diminta oleh Habibie untuk bergabung dalam Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Tawaran tersebut dilontarkan Habibie
kepada Cak Nun dalam sebuah perjalanan diatas pesawat yang ia sewa. Cak Nun
memang sedang jadi sorotan karena tulisan-tulisannya yang tajam dimedia,
demikian pula dengan ceramahnya yang kritis pada berbagai kesempatan. Setelah
melakukan pembicaraan, Cak Nun pun bergabung. Meski tak lama kemudian, lahir
ketidaksepakatan-ketidaksepakatan yang mengubah sikap Cak Nun terhadap ICMI,
sehingga membuatnya memutuskan untuk mundur. Salah satu peristiwa menggelitik
yang dialami Cak Nun ketika menjadi pengurus ICMI yang cuma sebentar itu,
adalah perihal sebuah pasal dalam aturan organisasi.
“Disitu ada pengumuman, bahwa semua pengurus pusat
ICMI diwajibkan untuk sholat. Saya menolak. Yang boleh mewajibkan saya — apapun
itu — hanya Allah. Kalau ICMI mewajibkan saya untuk sholat, itu membuat sholat
saya tidak khusyuk. Kalau saya sholat kepada Allah, dunia harus tidak ada.
Tidak boleh terhalangi oleh ada Aa Gym, tidak boleh ada Uje, tidak boleh
tertutupi MUI, tidak boleh terhalangi Indonesia. Antara aku dengan Allah tidak
boleh ada hijab. Dan selama ini, seluruh insitusi islam itu nutupi seluruh
hubunganmu dengan Allah. Betul ndak?” hentak Cak Nun dengan retorika yang
cerdas. Hadirin meresponnya lewat senyum. Beberapa diantaranya
mengangguk-anggukan kepala.
Titik berat penataan konsentrasi kepada Allah ini,
muaranya adalah menemukan Allah dalam tiap rinci kehidupan. Sebab prinsipnya,
pada keadaan apapun manusia mesti menemukan Allah. Sebab itulah tujuan
utamanya. Dengan akalnya, manusia mengolah metode-metode, menjabar cara-cara
untuk bertemu dengan Allah. Melukar misteri hidup dan penelahaan jatidiri agar
memahami Allah dari segala aspek. Jika manusia telah menemukan Allah, maka cara
apapun menjadi tidak penting. “Untuk tujuan itu”, ulas Cak Nun, “manusia
tinggal memilih latar belakang kebudayaan masing-masing, untuk dijadikan alat
telaah menemukan Allah”.
“Mau dari kebudayaan Sunda, kebudayaan Jawa,
kebudayaan Arab, Yunani, atau dari mana saja anda bisa sampai ke Allah. Bisa
dengan Asmaul Husna, bisa dengan struktur 25 rasul, bisa melalui apa saja. Atau
yang kecil saja. Anda bisa memakai konsep empat sahabat untuk memahami diri dan
hidup, agar menemukan Allah. Apakah engkau punya kecenderungan Abu Bakar,
apakah engkau Umar, apakah engkau ini Usman, ataukan engkau ini Ali. Temukan
dirimu siapa. Atau engkau kadang-kadang Umar, kadang-kadang Abu Bakar,
kadang-kadang Usman, kadang-kadang Ali. Ndak apa-apa. Orang punya kecenderungan
bisa punya variabel yang campur-campur. Tapi yang panting, kalau mengalami
apapun, harus bisa sampai ke Allah. Untuk apa makan kenyang enak, tapi tidak
sampai ke Allah? Sebab, jika ujung segala urusan adalah hanya sampai ke Allah,
tidak penting lagi apakah makanan itu enak atau tidak enak. Dengan menghadirkan
Allah disetiap detak jantungmu, maka segala sesuatu akan menjadi ringan” lanjut
Cak Nun, disambut dengan tepukan tangan hadirin.
Hari semakin sore, tapi suasana dalam ruang
diskusi itu kian hangat dengan paparan Cak Nun yang diselingi lontaran-lontaran
jenaka. Melalui kalimat-kalimat yang tangkas dan lancar, Cak Nun menggugah
semangat hadirin untuk tidak meratap-ratapi kesulitan hidup. Melawan tiap
penderitaan yang menimpa dengan membenahi orientasi, bahwa penderitaan yang
dialami itu tidak lebih hanyalah kendaraan untuk menuju Allah. Tendensi apapun
selain Allah mesti diletakkan sebagai akibat dari kekuatan cinta terhadap
Allah. Termasuk dengan soal surga dan neraka. Keduanya harus diposisikan
sebagai akibat dari kualitas hubungan manusia terhadap Allah, bukan tujuan
utama.
“Makanya anda jangan tertipu oleh surga atau
neraka. Karena Allah memang sengaja membuat ranjau-ranjau, membuat
jebakan-jebakan, dengan membuat iming-iming kepada manusia tentang surga. Jika
anda jatuh cinta kepada surga, lalu bersusah payah mencarinya, Tuhan akan
bilang, “lha kamu ternyata mencari surga, kamu ndak nyari Saya tho?” Hampir
semua ustadz ngomong masuk surga masuk atau masuk neraka. Allahnya jadi hilang.
Jadi anda jangan tertipu oleh surga, juga oleh neraka. Menurut anda, kalau anda
mencari surga, apakah pasti mendapat surga? Yang pasti, anda bisa dapat surga
itu kalau anda cari siapa? Cari Allah. Makanya ngapain kamu cari yang
selain Allah. Kalau anda cari Allah, dunia akhirat pun dapat semua. Surga pasti
dapat. Tapi kalau anda cari surga, belum tentu dapat surga, tapi sudah pasti
kehilangan Allah. Jadi kenapa kamu kepincutdengan semua ini?”
Sholat, Sholawat dan Cinta Segitiga
Ditengah suasana yang kian akrab, Cak Nun
melanjutkan bahasan yang kian menarik perhatian hadirin. Topik mengenai makna
sholat dan shalawat, yang selama ini lepas dari perharian umum. Terdapat banyak
hal yang diperintahkan Allah kepada manusia, tanpa Allah sendiri melakukannya.
Contohnya adalah perintah untuk mendirikan sholat. Tapi ada satu perkara yang
diperintahkan Allah supaya dilakukan hambaNya, dan Allah sendiri juga
melakukannya. Kegiatan tersebut adalah Sholawat.
Sebagai awalan, Cak Nun menjabar mengenai
penerjemahan istilah “shollu” yang dalam bahasa indonesia diterjemahkan dua
versi yaitu sholat dan sholawat. Dalam sebuah hadits populer yang jika ditulis
dengan aksara latin berbunyi,“shollu kama roaitumuni ushalli”. Dalam
hadits itu, istilah “shollu” bahasa Indonesia menerjemahkannya dengan kata
sholat. Sedangkan dalam surat Al Ahzab ayat 56, istilah “shollu” yang muncul
disana diterjemahkan sebagai sholawat, dan pada beberapa terjemahan juga
ditafsir sebagai pujian. Kutipan surat Al Ahzab bila ditulis latin berbunyi
sebagai berikut: “Innallaha wa malaikatahu yusholluna ‘alannabi. Ya
ayyuhalladziina amanu shollu ‘alaihi wa salamu taslima”. Artinya, “Sesungguhnya
Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan
kepadanya”.
Cak Nun telah lama melihat perbedaan translasi
ini. Karena terjemahan yang tidak disertai penjelasan terpadu dan rinci,
sedikit banyak berpengaruh terhadap pemahaman umat mengenai konsep sholat dan
shalwat.
“Saya biarkan hal ini berlangsung 20 tahun
berlangsung. Sekarang baru mau saya tembus sedikit. Yang saya pertanyakan dari
kalimat tadi, apa pekerjaan yang Allah perintahkan dan Allah sendiri lakukan?
Sholawat bener? Pertanyaannya, dimana bunyinya Allah bershalawat kepada nabi?
Apa wujudnya shalawat kepada Muhammad tersebut? Kalau yang disebut sholawat itu
adalah bunyi “Allahuma sholli wa salim ‘ala muhammad wa ‘ala ali muhammad” kan
gitu.. terus Allah ucapannya apa? Kenapa “shallu kama roaitumuni ushalli” diterjemahkan
dengan “sholatlah sebagai mana engkau melihat aku sholat”. Sedang kata “shollu”
pada ayat Innallaha wa malaikatahu yusholluna ‘alannabiditerjemahkan
dengan kata bersholawat. Lantas, apa perbedaan sholat dan shalawat?” Pertanyaan
tersebut menggelitik pikiran para hadirin yang jarang mengikuti loncatan
pemikiran Cak Nun.
“Jangan-jangan ini ketidakmampuan saja untuk
memahami. Akhirnya dikamuflase dalam translasi Indonesia, yang satu
diterjemahkan sholat, sedang yang lain diterjemahkan shalawat. Pada dasarnya
makna sholat dan shalawat sama saja. Namun ternyata yang keliru adalah
pengertian kita mengenai sholat itu sendiri. Orang dipatok oleh pemahaman
materil bahwa sholat itu terbatas pada kegiatan yang diawali oleh takbiratul
ihram dan diakhiri dengan salam. Meninggalkan pemahaman esensial, bahwa
sholat (juga sholawat – red) adalah juga kegiatan tentang komitmen cinta.
“Sholatnya manusia kepada Allah itu diberi formula
oleh Allah sendiri melalui Muhammad sehingga bunyinya “shollu kama
roaitumuni ushalli”. Maka orang sholat allahu akbar, samiallahuliman
hamidah dan seterusnya. Itu salah satu bentuk sholat yang posisinya
manusia kepada Allah. Sholatnya Allah ke kita bukan bentuk sebagaimana kita
kepada Allah, sholatnya Allah kepada kita adalah cinta dan kasih sayang. Karena
urusannya bukan jasad (esensial — red), tapi soal komitmen cinta. Begitu juga
Muhammad ke kita, kita ke Muhammad. Muhammad ke Allah, Allah ke Muhammad. Allah
ke kita, kita ke Allah. Kalau dalam Maiyah disebut Cinta Segitiga itu. Nah ini
contoh kecil aja daripada mikirin Indonesia 2014, ini saja direnungkan agar
bisa tenang dan beres”.
Comments
Post a Comment