Dalam
kehidupan tasawuf, seorang yang ingin menyempurnakan dirinya harus melalui
beberapa tahap-tahap dalam perjalanan spiritualnya. Dimana tahap paling dasar
adalah syari'at, yaitu tahap pelatihan badan agar dicapai kedisiplinan dan
kesegaran jasmani. Dalam syari'at hubungan antar manusia dijalin menjadi umat,
syariat dimaksudkan untuk membawa seseorang ke dalam sebuah bangunan
kolektif, yang disebut umat, bangunan persaudaraan berdasarkan kepercayaan atau
agama yang sama.
Begitu
juga yang diajarkan dan dilaksanakan oleh Sunan Kalijaga di dalam kitab Suluk
Linglung, ia sangat menekankan pentingnya menjalankan syari'at Islam seperti yang
diajarkan oleh Rasulullah saw, termasuk sholat lima waktu, puasa ramadhan,
membayar zakat dan menjalankan ibadah haji. Agar dapat menjalankan ajaran Islam
yang sempurna dan sungguh-sungguh (kaffah), baginya harus melalui berbagai
tirakat dan perenungan diri yang sungguh-sungguh pula. Dengan begitu manusia
akan dapat mengerti makna hidup sejati dan mencapai makrifat yang diajarkan
Sunan Kalijaga dalam suluk tersebut, adalah sebagai berikut;
Pertama,
Brahmara Ngisep Sari Pupuh Dhandanggula (Kumbang Menghisap Madu). Dalam teks
aslinya, "pawartane padhita linuwih, ingkang sampun saget sami pejah,
pejah sajroning uripe, sanget
kepenginipun,
pawartane kang sampun urip, marma ngelampahi kesah, tan uningeng luput,
anderpati tan katedah, warta ingkang kagem para nabi wali, mila wangsul
kewala".
Artinya:
"menceritakan tentang seorang alim ulama' yang cerdik dan pandai yang
sudah bisa merasakan mati, mati dalam hidup yang mempunyai keinginan besar
untuk memperoleh petunjuk dari seorang yang sudah menemukan hakekat kehidupan
dan perjalanan untuk tidak memperdulikan dampak yang terjadi. Beliau bernafsu
untuk mendapatkan petunjuk, petunjuk yang dipegang oleh para nabi dan wali,
itulah tujuan yang diharapkan semata-mata".
Pada
bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berhasrat besar untuk
mencari ilmu yang menjadi pegangan para Nabi dan wali. Dengan kondisi
bimbang dan tidak menentu Sunan Kalijaga selalu berusaha untuk mengabdi dan
mencari petunjuk, salah satu usaha yang ditempuh adalah dengan mengendalikan
segala hawa nafsunya yang selanjutnya berserah diri kepada Allah, yang
diibaratkan sebagai kumbang ingin mengisap madu / sari kembang.
Dalam
hal ini Sunan Kalijaga berusaha untuk mengendalikan segala hawa nafsunya.
Rendah hati dalam bersikap, prihatin, tidak bermewah-mewah (memikirkan
kehidupan dunia), membunuh segala nafsu jiwa raga dan berserah diri pada Allah.
Maksud
mengalirnya madu adalah orang yang diberi kemuliaan oleh suksma. Dia tetap
kokoh dalam budi. Arti menjalankan tapa adalah menyakiti badan dari waktu muda
sampai tua, masuk hutan yang sunyi, masuk gua bersemadi di tempat yang sepi,
membunuh jiwa raga. Dengan begitu bila mendapat hidayah Ilahi, maka pengetahuan
tentang Allah akan sampai kepadanya, begitulah yang dilakukan Sunan Kalijaga.
Manfaat orang yang suka prihatin, seluruh cita-citanya akan dikabulkan Allah,
apabila belajar ilmu akan mudah paham, apabila mencari rizki akan mudah
didapatkan dan apabila melakukan sesuatu pekerjaan akan cepat selesai.
Demikian
tapanya para ulama dan wali Allah yang telah sempurna tekadnya. Bila orang
ingin seperti itu hendaklah jiwa raga disiksa, raga selalu disakiti lupakan
tidur. Bila ingin tahu tentang asal mulanya, jasadnya disiksa dengan maksud
agar menyatu pada suksma. Dalam teksnya dijelaskan:
"……Dennya
amrih wekasing urip, dadya napsu ingobat kabanjur kalantur, eca dhahar lawan
nendra, saking tyas awon poerang lan napsu neki,…….
Artinya
"………berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi
atau mengobati nafsunya, jangan sampai terlanjur nafsunya, puas makan dan tidur
sebab hatinya kalah perang dengan nafsunya".
Kedua,
Kasmaran Branta Pupuh Asmara Dana (rindu kasih sayang pupuh asmara dana) pada
bagian ini mengupas tentang Sunan Kalijaga berguru kepada Sunan Bonang, serta
wejangan-wejangan (petunjuk-petunjuk) yang diterimanya.
Untuk
memperkuat ketajaman batin, maka Sunan Kalijaga mengajarkan berbagai
jenis tapa agar diikuti para murid-muridnya. Sunan Kalijaga sendiri pernah
menjadi petapa ketika berguru kepada Sunan Bonang.
Pertama
ia bertapa menunggui tongkat Sunan Bonang dan kedua bertapa ngidang menyamar
menjadi kijang, makan daun-daunan dan tinggal di hutan belantara. Dalam teksnya
dijelaskan:
Pada bait
ketiga " wonten setengah wanadri, gennya ingkang gurdagurda. Pan sawarsa
ing lamine, anulya kinene ngaluwat, pinendhen madyeng wana, setahun nulya
dinudhuk, dateng jeng suhunan benang"
Artinya
", berada ditengah hutan belantara, tempat tumbuhnya pohon gurda yang
banyak sekali, dengan tenggang waktu setahun lamanya, kemudian disuruh
"ngaluwat" ditanam ditengah hutan. Setahun kemudian dibongkar oleh
kanjeng Sunan Bonang"
Dan pada bait
ketujuh belas, " pan angidang lampah neki, awor lan kidang manjangan,
atenapi yen asare pan aturu tumut, lir kadya sutaning kidang"
Artinya,
"untuk menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, bilamana
ingin tidur, ia mengikuti cara tidur terbalik, seperti tidurnya kijang, kalau
pergi mencari makan seperti caranya anak kijang".
Tapa-tapa
yang dianjurkan Sunan Kalijaga diantaranya:
a.
Badan, tapanya berlaku sopan santun, zakatnya gemar berbuat kebajikan.
b.
Hati atau budi, tapanya rela dan sabar, zakatnya bersih dari prasangka buruk.
c.
Nafsu, tapanya berhati ikhlas, zakatnya tabah menjalani cobaan dalam sengsara
dan mudah mengampuni kesalahan orang.
d.
Nyawa atau roh, tapanya belaku jujur, zakatnya tidak mengganggu orang lain dan
tidak mencela.
e.
Rahsa, tapanya berlaku utama, zakatnya duka diam dan menyesali kesalahan atau
bertaubat.
f.
Cahaya ata Nur, tapanya berlaku suci dan zakatnya berhati ikhlas.
g.
Atma atau hayu, tapanya berlaku awas dan zakatnya selalu ingat. Di samping itu
diajarkan pula tapa dan perbuatan yang berhubungan dengan tujuh anggota badan;
1. Mata,
tapanya mengurangi tidur, zakatnya tidak menginginkan kepunyaan orang lain.
2. Telinga,
tapanya mencegah hawa nafsu, zakatnya tidak mendengarkan perkataan-perkataan
yang buruk
3. Hidung,
tapanya mengurangi minum, zakatnya tidak suka mencela keburukan orang lain
4. Lisan,
tapanya mengurangi makan, zakatnya dengan menghindari perkataan-perkataan buruk
5. Aurat,
tapanya menahan syahwat dan zakatnya menghindari perbuatan zina
6. Tangan,
tapanya mencegah perbuatan mencuri, zakatnya tidak suka memkul orang lain
7. Kaki,
tapanya tidak untuk berjalan berbuat kejahatan dan zakatnya menyukai berjalan
untuk istirahat dan intropeksi.
8.
Ketiga,
Pupuh Durna, yang berisikan tentang Sunan Kalijaga yang diperintahkan
ibadah haji ke Makkah dan bertemu dengan nabi Khidir di tengah samudera. Dalam
teks tersebut disebutkan:
"Sang
pendeta wus lajeng hing lampahira, mring benang dhepok sepi, nyata kawuwusa,
Lampahe Syeh Melaya, kang arsa amunggah kaji, dhateng hing makkah, lampahnya
murang margi".
Artinya,
" Sunan Bonang sudah lebih dulu melangkahkan kaki, menuju desa Benang
yang sepi. Dan selanjutnya kita ikuti, perjalanan Syeikh Malaya, yang
berkehendak naik haji menuju Makkah dia menempuh jalan pintas
.Setelah
melalui proses tafakkur Sunan Bonang kemudian menyuruh Sunan Kalijaga untuk
pergi ke makkah menunaikan ibadah haji yang kemudian diperintahkan untuk
bertemu nabi Khidzir dan berguru kepadanya.
Sunan
Kalijaga bertemu Nabi Khidzir ditengah samudera yang kemudian nabi khidzir
memberikan wejangan kepada Sunan Kalijaga tentang Hidayatullah (petunjuk
Allah).
Hidayatullah
dapat diartikan sebagai petunjuk Allah. Petunjuk merupakan sebuah anugerah yang
tidak diterima oleh setiap orang. Sebagaimana dalam teks tersebut dijelaskan
"nyuwun wikan kang sifat hidayatullah munggah kajiyo miring Makkah marga
suci", artinya bahwa untuk mencapai petunjuk dari Allah manusia harus
dalam kondisi suci, suci secara dhahiriyah dan bathiniah dan dilakukan hati tulus
dan ikhlas.
sebagai
perwujudan pelaksanaan rukun Islam yang kelima.
Keempat,
sang Nabi Khidzir (Pupuh Dhandhang Gula), mengupas tentang dialog antara Syeh
Malaya dengan nabi Khidzir yang berisikan wejangan tentang hidayatullah dan
kematian dengan berbagai aspeknya.
Dalam teks
aslinya "….nadyan wus haji iku yen tan weruh paraning kaji ,...margone tan
kanggo lunga, mring ka'bah yen arsa wruh ing ka'bah jati, jati iman h
idayat".
Artinya,
"…oleh karena itu, biarpun kamu sudah naik haji bila belum tahu tujuan
yang sebenarnya dari ibadah haji, kamu akan rugi besar…ka'bah yang hendak kau
kunjungi itu sebenarnya ka'batullah (ka'bah Allah). Demikian itu sesungguhnya
iman hidayat yang harus kamu yakinkan dalam hati. Kalau seseorang akan
melakukan ibadah haji, maka harus diketahui tujuan yang sebenarnya, kalau
tidak, apa yang dilakukan itu sia-sia belaka, itulah yang dinamakan iman
hidayat. Dan sebelum seseorang melakukan sesuatu hendaklah diteliti agar tidak
tertipu oleh nafsu, supaya tetap dalam jati diri yang asli (pancamaya).
Penghalang tingkah laku kebaikan ada tiga golongan, dan siapa berhasil menjauhi
penghalang tersebut akan berhasil menyatukan dirinya dengan yang ghaib. Yang
dimaksud dengan penghalang tersebut adalah marah, sakit hati, angkara murka,
sombong dan semacam itu.
Dalam teksnya
dijelaskan, "pan isine jagad amepeki, iya iku kang telung prakara,
pamurunge laku kabeh kang bisa pisah iku, yekti bisa amoring ghaib, iku
mungsuhe tapa, ati kang tetelu, ireng, abang,
kuningsamya,
angadhangi cipta karsa kang lestari, pamore sulama mulya".
Artinya,
" sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi ke dalam tiga
golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku kalau mampu menjauhi itu,
pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra
diri, hati yang tiga macam, hitam, merah, kuning, semua itu, menghalangi
pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya, akan menyatunya dengan Tuhan yang
membuat nyawa lagi mulia”.
Godaan
yang berat digambarkan empat penari pada keempat sudut itu, yaitu nafsu-nafsu
yang timbul dari badan kita sendiri, pertama, amarah, yaitu nafsu yang
menimbulkan rasa ingin marah, ingin menguasai, ingin menaklukkan, serakah dan
kejam, segala tindakannya selalu merugikan orang lain. Dalam ilmu Jawa, nafsu
amarah biasa digambarkan dengan sinar (cahaya) yang berwarna merah, kedua,
aluamah, nafsu yang menimbulkan keinginan untuk makan dan minum secara berlebihan.
Orang yang menuruti nafsu aluamah gemar makan yang enak-enak, rakus, tak pernah
merasa puas, dan malas bekerja. Nafsu aluamah digambarkan dengan sinar (cahaya)
yang berwarna hitam. Ketiga sufi'ah, nafsu yang menimbulkan sifat dengki dan
iri hati. Orang dengan nafsu ini selalu menggerutu dan iri hati kepada temanya
yang kaya dan pandai, tetapi ia sendiri tidak mau berusaha.
Sifat
sufiah digambarkan dengan sinar (cahaya) berwarna kuning. Keempat, mutmainnah,
nafsu yang pada dasarnya baik, suka memberi, penyayang. Orang yang menuruti
hawa nafsu mutmainnah sangat menyayangi orang lain tanpa perhitungan. Hal ini
dapat menjadikan dirinya celaka dan orang yang diberi juga ikut celaka. Sifat
mutmainnah digambarkan dengan sinar (cahaya) putih.
Si
penari (budi manusia) haruslah dapat mengekang dan menguasai empat nafsu itu,
dan disalurkan ke arah (hal-hal) yang baik, agar dapat memiliki (mencapai)
waranggana (cita-cita yang mulia) yang dikejarnya. Nafsu amarah disertai
keberanian dan terpelihara, dapatlah ia mencapai martabat yang tinggi dan tidak
akan berbuat kejam. Nafsu aluamah disertai rajin dan menjaga kesehatan dapatlah
ia mencapai kecukupan hidupnya dan badan tetap terpelihara. Nafsu sufiah,
disertai usaha maka ia sanggup mencapai apa yang diinginkan. Nafsu mutmainah,
disertai perhitungan, akan mendatangkan ketenteraman hidup, tertolong
sebagaimana mestinya.
Kelima,
Kinanthi (Pupuh Kinanthi) yang terdiri dari enam puluh bait yang berisikan
tentang ajaran nabi Khidzir kepada Sunan Kalijaga tentang ilmu yakin, ainul
yakin, haqqul yakin, makrifatul yaqin dan iman hidayat serta sifat-sifat yang
terpuji.
Dalam teks
aslinya disebutkan "urip jroning johar iku, urip mati sajroning, iya aneng
johar awal, pagene sholat sireki, ya ora ing ndalem ndoya, purwane sholat
puniki".
Artinya:
"jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh johar itu,
telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam
johar awal. Dari keterangan tentang johar awal tadi, tentu akan menimbulkan
pertanyaan, diantaranya; mengapa kamu wajib sholat, di dalam dunia ini?".
Pada
bagian ini Sunan Kalijaga belajar tentang ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul
yaqin serta makrifat, yang kemudian nabi Khidzir memberikan contoh tentang
sholat sebagai bukti keyakinan manusia tentang adanya Tuhan atau Allah yang
harus disembah, yang pada prinsipnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini
ada yang menciptakan. Begitu pun juga manusia, eksistensi manusia di bumi
karena adanya sang pencipta yaitu Allah. Adanya manusia itulah yang membuktikan
adanya Allah, dan tanda-tanda adanya Allah adalah pada dirimu kata Nabi Khidzir
kepada Sunan Kalijaga.
Sebenarnya
tanda-tanda adanya Allah itu ada pada diri manusia sendiri, barang siapa yang
mengetahui dirinya sendiri maka akan mengetahui Tuhannya, jadi dengan
bertafakkur atas diri dan sifat-sifatnya sendiri, manusia mengetahui bahwa ia
sebenarnya dijadikan dari setetes air yang tidak
mempunyai
akal sedikitpun dan, tidak pula mempunyai pendengaran, penglihatan, kaki,
tangan, kepala dan sebagainya. Dari sinilah manusia akan mengetahui dengan
terang dan nyata bawa tingkat kesempurnaan yang ia capai bukan ia sendiri yang
membuatnya melainkan Allah lah yang menciptakan karena sehelai rambut manusia
tidak akan sanggup membuatnya.
Manusia
harus selalu bermakrifat kepada Allah, dalam ayat Al-Qur'an menjelaskan bahwa
pengagungan kepada Allah diwujudkan dengan makrifat, kalau tidak makrifat
berarti tidak menghargai Allah. Allah berfirman;"… dan tiada mereka
mengagungkan Allah sebagaimana mestinya" (al-An-'am: 91).
Yang
dimaksud tidak mengagungkan Allah dalam ayat itu berarti tidak makrifat
kepada-Nya. Makrifat merupakan sifat orang-orang yang mengenal Allah dengan
nama-nama dan sifat-sifat-Nya, kemudian membenarkan Allah dengan melaksanakan
ajarannya dalam perbuatan. Selain itu makrifat dapat membersihkan diri dari
akhlak yang rendah dan dosa-dosa, yang kemudian lama-lama dapat mengetuk
"pintu" Allah dengan hati yang istiqomah, dia melakukan makrifat
untuk menjauhi dosa-dosa. Sehingga dia memperoleh hidayah dari Allah.54 Yang
kesemuanya itu diperlukan adanya tauhid yang kuat. Dalam teksnya dijelaskan
"…tauahid panembah reki, makrifat pangawruh kita, ya ru'yat minangka
seksi" artinya tauhid adalah pengetahuan yang penting untuk menyembah pada
Allah juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat,
ya rukyat (ya dengan melihat pakai mata telanjang) sebagai saksi adanya
terlihat dengan nyata".
Keenam, Pupuh
Dhandhang Gula yang terdiri dari lima puluh dua bait, pada bagian ini berisi
tentang Sunan Kalijaga menerima wejangan dari nabi Khidzir Dalam teks aslinya
disebutkan " kawisayan kang marang ing pati, den kahasto pamanthenging
cipta, rupa ingkang sabenere, sinengker buwaneku, urip data nana nguripi, datan
antara mangsa, iya anaripun, pas wus ana ing sarira, tuhu tunggal sejane lawan
sireki, tan kena pisahenna.
Artinya;
"cobaan hidup yang menuju kematian. ditimbulkan akibat buah pikir, bentuk
yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagatmu! Hidup tanpa ada yang
menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu.
Bukanlah sudah berada ditubuh? Sungguh bersama lainnya selalu ada dengan kau!
Tak mungkin terpisahkan
Pada
bagian ini Sunan Kalijaga mendapatkan wejangan tentang hakikat hidup, hidup
yang penuh cobaan dan masalah semua itu harus diserahkan sepenuhnya
kepada Allah karena segala yang muncul di muka bumi karena Allah.
Allah
adalah sumber kebahagiaan, sumber kedamaian, sumber keselamatan, meskipun
demikian, rasa di dalam batinlah yang bisa menangkap kebahagiaan itu. Hakikat
rasa adalah tumbuhnya kemampuan untuk merasakan kehadiran Tuhan. Kemampuan
untuk melihat wajah-Nya, kemampuan untuk menghadap dihadirat-Nya, sehingga sang
jiwa menjadi madeg dan mantep dalam mengarungi kehidupan ini.
Manusia
harus menghadap realita mutlak (kebenaran sejati) yang berada dalam diri
manusia sendiri, sehingga di dalam Suluk Linglung dinamakan "tunggal lawan
sang hyang widi", hamba menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di
akhirat. Hal ini disebut dalam Pupuh Kinanthi bait 53;
" Thaukid
hidayat sireku, tunggal lawan Sang Hyang widi, tunggal sira lawan Allah, uga
donya uga akhir, ya rumangsana pangeran, ya Allah ana nireki".
Artinya;
"Thaukid hidayat yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan yang
terpilih. Menyatu dengan Tuhan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu
harus merasa bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirimu”.
Ajaran
makrifat yang di ajarkan oleh sunan kalijaga tidak hanya melibatkan dunia dalam
microkosmos tetapi juga memandang dunia secara macrokosmos (misalnya alam
semesta, kenyataan sosial, dll), agar manusia jangan sampai melupakan tujuan
hidup manusia yang sesungguhnya baik di dunia dan di akhirat.
Bagi
sufi mencapai makrifat, maka berarti dia makin dekat dengan Tuhan, dan akhirnya
dapat bersatu dengan Tuhan. Tetapi, sebelum seorang sufi bersatu dengan Tuhan
dia harus lebih dahulu menghancurkan dirinya.
Selama
dia belum menghancurkan dirinya, yaitu dia masih sadar akan dirinya dia tidak
akan dapat bersatu dengan Tuhan. Penghancuran diri ini dalam tasawuf disebut
fana (hilang, hancur). Fana yang dicari oleh sufi ialah penghancuran diri,
yaitu hancurnya peranan dan kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia ini.
Jika
seseorang telah mencapai, yaitu kalau wujud jasmaninya tak ada lagi (dalam arti
tak disadarinya lagi), maka yang tinggal ialah wujud rohaninya dan ketika itu
dapatlah ia bersatu dengan Tuhan. Kelihatannya persatuan dengan Tuhan ini
terjadi langsung setelah tercapainya fana' tak ubahnya dengan fana' tentang
kejahilan, maksiat dan kelakuan buruk. Dengan hancurnya hal-hal buruk ini, maka
yang tinggal ialah pengetahuan, takwa dan kelakuan baik. (Sumber: Siami
Nahri F - Dok. Rumah Pendidikan Sciena Madani)
Refrensi:
Rus'an
, Mutiara Ihya' Ulumuddin Iman Al-Ghozali, (Semarang: Wicaksana, 1984)
Sudirman
Tebba, Kecerdasan Sufistik; Jembatan Menuju Makrifat, (Jakarta: Kencana, 2004)
http
: // www. Serambi. Co. id / modules.
Ahmad
Chodjim, Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga, (Jakarta: PT Serambi IlmuSemesta,
2004)
Iman
Anom, Suluk Linglung Sunan Kalijaga (Syeh Melaya), (Jakarta : Balai Pustaka,
Purwadi
dan Siti Maziyah, Hidup dan Spiritual Sunan Kalijaga, (Yogyakarta : Panji
Pustaka 2005)
Purwadi,
Dakwah Sunan Kalijaga " Penyebaran Agama Islam di Jawa berbasis kultural,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)
Comments
Post a Comment