Perantara Syirik
Banyak orang keliru dalam memahami esensi perantara
(wasilah). Mereka memvonis dengan gegabah bahwa perantara adalah tindakan
musyrik dan menganggap bahwa siapapun yang menggunakan perantara dengan cara
apapun telah menyekutukan Allah swt. dan sikapnya sama dengan sikap orang-orang
musyrik yang mengatakan:
مَا نَعْبُد ُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُوْنَا إِلَى اللهِ
زُلْفَى
“ Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka
mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. az-Zumar:3)
Kesimpulan ini jelas salah dan berargumentasi dengan ayat di
atas adalah bukan pada tempatnya. Karena ayat tersebutjelas menunjukkan
pengingkaran terhadap orang musyrik menyangkut penyembahan mereka terhadap
berhala dan menjadikannya sebagai tuhan selain Allah swt. serta menjadikan
berhala sebagai sekutu dalam ketuhanan dengan anggapan bahwa penyembahan mereka
terhadap berhala mendekatkan mereka kepada Allah swt.
Jadi, kekufuran dan kemusyrikan kaum mussyrikin adalah dari
aspek penyembahan mereka terhadap berhala dan dari aspek keyakinan mereka bahwa
berhalaadalah tuhan-tuhan di luar Allah swt. Di sini ada masalah yang urgen
untuk dijelaskan, yaitu bahwa ayat di atas menyatakan bahwa kaum musyrikin,
sesuai yang digambarkan Allah swt., tidak meyakini dengan serius ucapan mereka
yang membenarkan penyembahan berhala: (Kami tidak menyembah mereka kecuali
semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah). Jika ucapan kaum
musyrikintersebut sungguh-sungguh niscaya Allah swt. lebih agung daripada
berhala dan mereka tidak akan menyembah selainNya.
Allah telah melarang kaum muslimin untuk memaki
berhala-berhala kaum musyrikin, lewat firmanNya:
وَلاَ
تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللهِفَيَسُبُّوا اللهَ عَدْوًا
بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى
رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaanmereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada merekaapa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. al-An`am:108)
Abdurrazaq, Abd ibn Hamid, Ibn Jarir, Ibnu al-Mundzir, Ibnu
Abi Hatim dan Abu asy-Syaikh meriwayatkan dari Qatadah bahwa Rasulullah saw.
Berkata: “Awalnya Kaum muslimin memaki berhala-berhala orang kafir. Akhirnya
mereka memaki Allah. Lalu turunlah ayat 108 surat al-An’am di atas. Peristiwa
inilah yang menjadi latar belakang turunnya ayat tersebut. Berarti ayat
tersebut melarang dengan keras kaum mu’minin untuk melontarkan kalimat yang
bernada merendahkan terhadap batu-batu yang disembah oleh kaum paganis di
Makkah.
Karena melontarkan kalimat seperti itu mengakibatkan
kemurkaan kaum paganis karena membela bebatuan yang mereka yakini dari lubuk
hati paling dalamsebagai tuhan yang memberi manfaat dan menolak bahaya. Jika
mereka emosi maka akan balik memaki Tuhan kaum muslimin, Allah swt. dan
melecehkanNya dengan berbagai kekurangan padahal Dia bebas dari segala
kekurangan. Jika mereka meyakini dengan sebenarnya bahwa penyembahan kepada
berhala sekedar untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. niscaya mereka tidak
akan berani memaki Allah swt. untuk membalas orang yang memaki tuhan-tuhan
mereka.
Fakta ini menunjukkan dengan jelas bahwa keberadaaan Allah
swt. dalam hati mereka jauh lebih sedikit dari pada keberadaaan bebatuan yang
disembah. Ayat lain yang menunjukkan ketidakjujuran orang kafir adalah:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ ِللهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ
يَعْلَمُونَ
“Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:
“Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab:
“Allah”. Katakanlah : “Segala puji bagi Allah”; tetapi kebanyakan merekatidak
mengetahui.” (QS. Luqman:25)
Bila orang-orang kafir meyakini dengan jujur bahwa hanya
Allah swt. Sang Pencipta dan bahwa berhala-berhala itu tidak mampu menciptakan
apa-apa niscaya mereka akan menyembah Allah swt. semata, tidak menyembah
berhala atau minimal penghormatan mereka terhadap Allah swt. melebihi
penghormatan kepada patung-patung dari batu tersebut. Apakah jawaban mereka
dalam ayat ini relevan dengan makian mereka terhadap Allah swt. sebagai bentuk
pembelaan terhadap berhala-berhala mereka dan pelampiasan dendam terhadap Allah
swt? Secara spontan kita akan menjawab sampai kapanpun hal initidak relevan.
Ayat di atas bukanlah satu-satunya ayat yangmenunjukkan bahwa di mata mereka
Allah swt. lebih rendah dari patung-patung yang mereka sembah.
Banyak ayat senada seperti :
وَجَعَلُوا ِللهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ
وَاْلأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا ِللهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا
لِشُرَكَآئِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمْ فَلاَ يَصِلُ إِلَى اللهِ وَمَا كَانَ
ِللهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَآئِهِمْ سَآءَ مَا يَحْكُمُونَ
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari
tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai
dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala
kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak
sampai kepada Allah; dan saji-sajian yangdiperuntukkan bagi Allah, maka sajian
itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.”
(QS. al-An`am:136)
Seandainya di mata mereka Allah swt. tidak lebih rendah
dibanding patung-patung tersebut maka mereka tidak akan mengunggulkannya dalam
bentuk seperti yang diceritakan ayat ini dan tidak layak mendapat vonis ”سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ ”
. Salah satu ungkapan yang masuk kategori diatas adalah perkataan Abu Sufyan
sebelum masuk Islam, “Mulialah engkau wahai Hubal!” sebagaimana riwayat
al-Bukhari. Pujian ini dialamatkan kepada berhala mereka yang bernama Hubal
agar dalam kondisi kritis mampu mengatasi Allah Tuhan langit dan bumi serta
agar ia dan pasukannya mampu mengalahkan tentara mukmin yang hendak
menghancurkan berhala-berhala mereka. Ini adalah gambaran dari sikap orang
musyrik menyangkut berhala dan Allah swt.
Pengertian bahwa penghormatan bukan berarti penyembahan
terhadap obyek yang dihormati harus dipahami dengan baik karena banyak orang
tidak memahaminya dengan benar lalu membangun persepsi-persepsi yang sesuai
dengan pemahamannya.
Apakah tidak engkau perhatikan ketika Allah swt. menyuruh
kaum muslimin menghadap Ka’bah saat shalat, mereka menyembah menghadapnya dan
menjadikannya sebagai kiblat? Tetapi Ka’bah bukanlah obyek penyembahan. Mencium
Hajar Aswad adalah penghambaan kepada Allah swt. dan mengikuti Nabi saw.
Seandainya ada kaum muslimin yang berniat menyembahKa’bah dan Hajar Aswad
niscaya mereka menjadi musyrik sebagaimana para penyembah berhala. Perantara
(mediator/ wasithah) adalah sesuatu yang harus ada.
Eksistensinya bukanlah sebagai bentuk kemusyrikan. Tidak
semuaorang yang menggunakan mediator antara dirinya dan Allah swt. dipandang
musyrik. Jika semua dianggap musyrik niscaya semua orang dikategorikan musyrik
karena segala urusan mereka didasarkan atas eksistensi mediator. Nabi Muhammad
saw. menerima al-Qur’an via Jibril dan Jibril adalah mediator beliau.
Sedang Nabi saw. adalah mediatorbesar bagi para sahabat.
Ketika mengalami problem yang berat mereka datang dan mengadukannya kepada
beliau dan menjadikannya sebagai mediator menuju Allah swt. Mereka memohon doa
kepada beliau dan beliau tidak menjawab, “Kalian telah musyrik dan kafir karena
tidak boleh mengadu dan memohon kepada saya. Kalian harus datang, berdoa dan
memohon sendiri karena Allah lebih dekat dengan kalian dari pada saya”. Nabi
saw. tidak pernah berkata demikian. Beliau malah berdiam dan dan memohon pada
saat di mana mereka mengatahui bahwa Pemberi Sejatiadalah Allah swt. dan yang
mencegah, melimpahkan dan pemberi rizqi juga Allah swt. Mereka juga tahu bahwa
beliau saw. memberi atas izin dan karunia Allah swt.
Beliaulah yang mengatakan, ”Sayaadalah pembagi dan Allah
adalah pemberi”. Berangkat dari pengertian bahwa penghormatan bukan berarti
penyembahan terhadap obyek yang dihormati ini maka jelas diperbolehkan
menetapkan manusia biasa manapun bahwa ia telah mengatasi kesulitan dan
mencukupi kebutuhan dengan pengertian bahwa ia adalah mediator dalam pemenuhan
kebutuhan tersebut.
Kalau manusia biasa bisa berperanseperti ini maka bagaimana
dengan Nabi Muhammad saw. yangnotabene junjungan mulia, Nabi Agung, makhluk termulia
dunia akhirat , junjungan jin dan manusia serta makhluk Allah swt. paling utama
secara mutlak? Bukankah beliau pernah bersabda:“ Barangsiapa membantu mengatasi
satu dari banyak kesulitan seorang mu’min di dunia,maka Allah akan
melepaskannya kesusahan pada hari kiamat.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Maka orang mu’min adalah orang yang mengatasi segala
kesulitan. Bukankah beliau juga bersabda: “Barangsiapa membantu kebutuhan
saudaranya maka saya akan berdiri di dekat timbangan amalnya. Jika timbangan
amal baik itu lebih berat maka akubiarkan, jika tidakmaka aku akan memberinya
syafaat? Maka orang mu’min adalah orang yang mencukupi segala kebutuhan.”
مَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ لَهُ
“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim maka Allah akan
menutupi aibnya.”
“Sesungguhnya
Allah memiliki paramakhluk yang didatangi banyak orang untuk memenuhi
kebutuhanmereka.”
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِيْهِ
“Allah senantiasa membantu hamba-Nya sepanjang ia membantu
saudaranya.”
مَنْ أَغَاثَ مَلْهُوفًا كَتَبَ اللهُ لَهُ ثَلاَثَةً
وَسَبْعِينَ حَسَنَةً
“Siapapun yang menolong orang teraniaya maka Allah akan
menulisbaginya 73 kebaikan.” (HR. Abu Ya’la, al-Bazzar dan al-Baihaqi)
Dalam konteks ini orang mu’min adalah yang mengatasi,
membantu, menolong, menutupi dan yang menjadi tempat pengaduan meskipun
sesungguhnya pelaku sejatinya adalah Allah swt. Namun berhubung ia adalah
mediator dalam menangani masalah-masalahtersebut maka sah menisbatkan
tindakan-tindakan tersebut kepadanya.
Dalam koleksi hadits-hadits Rasulullah saw. terdapat banyak
hadits yang menjelaskan bahwa Allah swt. menghindarkan siksaan dari penduduk
bumi berkat orang-orang yang beristighfar dan mereka yang rajin menghidupkan
masjid dan Dia jugamemberi rizqi, menolong dan menjauhkan musibah dan tenggelam
dari penduduk bumi berkat mereka. Ath-Thabrani dalam al-Kabir dan al-Baihaqi
dalam as-Sunan meriwayatkan dari Mani’ ad-Dailami ra. bahwa ia berkata :
Rasulullah saw. bersabda: “Jikalau tiada para hamba Allah yang sholat, para
bayi yang menyusui dan binatang yang merumput niscaya adzab akan diturunkan dan
orang-orangyang terkena adzab itu akan dihancurkan”.
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sa’d ibn Abi Waqqash ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
هَلْ تُنْصَرُونَ وَتُرْزَقُونَ إِلاَّ
بِضُعَفَآئِكُمْ ؟
”Bukankah kalian mendapat kemenangan dan rizki hanya karena
orang-orang lemah kalian”.
At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits yang dikategorikan
shahih oleh al-Hakim dari Anas ra. bahwaNabi saw. bersabda:
لَعَلَّكَ تُرْزَقُ بِهِ
”Barangkali kamu mendapat rizqi berkat saudaramu”.
Dari Abdullah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda:
”Sesungguhnya Allah memiliki paramakhluk yang Dia ciptakan untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Orang-orang datang kepada mereka untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya. Mereka dalah orang-orang yang aman dari adzab
Allah”.(HR. Thabrani dalam al-Kabiir, Abu Nu’aim dan al-Qudlo’i dengan status
Hasan)
Dari Abdillah ibn Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
”Sesungguhnya Allah swt, sebab keshalihan seorang laki-laki muslimakan membuat
anak, cucu, wargadesanya dan desa-desa sekitarnya menjadi shalih dan mereka senantiasa
berada dalam lindungan Allah sepanjang laki-laki shalih itu tinggal bersama
mereka”.
Diriwayatkan oleh Ibn Jarir dalam tafsirnya:2341 dan
an-Nasa’i dalam al-Mawa’idz dari as-Sunan al-Kubra sebagaimana keterangandalam
at-Tuhfah:13/380. Para perawi hadits ini sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
Shahih al-Bukhari dan al-Muslim selain guru an-Nasa’i yang dikategorikan tsiqah
dan wa fihi kalamun.
Dari Ibnu ‘Umar ra. berkata: Rasulullah saw. Bersabda :
”Sesungguhnya Allah menghindarkan bala’ berkat seorang laki-laki shalih,
seratus keluarga dari tetangganya,”. Lalu Ibn ‘Umar mengutip firman Allah swt.:
“Seandainya Allah tidakmenolak (keganasan) sebagian umat manusia dengan
sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia
(yang dicurahkan) atas semesta alam.” (HR. Thabrani).
Dari Tsauban seraya memarfu’kanhadits berkata: ”Di tengah
kalian senantiasa ada 7 orang wali di mana berkat mereka kalian
diberipertolongan, hujan dan rizki sampai tiba hari kiamat”.
Dari ‘Ubadah ibn Shamit ra. berkata: Rasulullah saw.
bersabda:
اْلأَبْدَالُ فِى أُمَّتِى ثَلاَثُوْنَ ، بِهِمْ
تَقُوْمُ اْلأَرْضُ وَبِهِمْ يُمْطَرُوْنَ وَبِهِمْ يُنْصَرُوْنَ .
”Wali badal (Abdaal) dalam ummatku ada 30. Berkat mereka
kalian diberi hujan dan mendapat pertolongan”.
Qatadah berkata:
إِنِّي َلأَرْجُوْ أَنْ يَكُوْنَ الْحَسَنَ مِنْهُمْ
”Sungguh saya berharap Hasan al-Bashri termasuk mereka”.
(HR. Thabrani).
Empat hadits di atas disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir
ketika menafsirkan ayat: “Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian
umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklahbumi ini. tetapi Allah
mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.” (QS. al-Baqarah:251).
Ayat ini layak dijadikan argumen dan dari keempatnya status hadits menjadi
shahih.
Dari Anas ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Bumi tidak
akan sepi dari 40 laki-laki seperti Khalilurrahman Ibrahim as. Berkat mereka
kalian disirami hujan dan diberi pertolongan. Jika salah seorang meninggal maka
Allah akan menggantinya dengan oranglain.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath dan
isnad-isnad hadits ini hasan. Majma’ az-Zawaid:2/62)
Mediator Paling Agung
Dalam hari mahsyar yang notabene hari tauhid, hari iman dan
hari di mana ‘Arsy dimunculkan, akan tampak keutamaan mediator paling agung,
pemilik panji (al-Liwa’ al-Ma’qud), kedudukan terpuji, telaga yang didatangi,
pemberi syafaat yang diterima syafaatnyadan tidak sia-sia jaminannya untuk
orang yang Allah swt. telahberjanji kepada beliau bahwa Allahswt. tidak akan
mengecewakan anggapan beliau, tidak akan menghina beliau selamanya, tidak
membuat beliau susah serta malu saat para makhluk datang kepada beliau memohon
syafaat. Lalu beliau berdiri kemudian tidak kembali kecuali mendapat baju
kebaikan dan mahkota kemuliaan yang tergambar dalam perintah Allah swt. kepada
beliau:
يَا مُحَمَّدُ ، ارْفَعْ رَأْسَكَ وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ
وَسَلْ تُعْطَ
“Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berilah syafa’at, maka
syafaatmu akan diterima. dan mohonlah maka kamu akan diberi ”
Pengertian Tawassul
Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul.
Karena itu kami akan menjelaskanpengertian tawassul yang benar dalam pandangan
kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut:
Tawassul adalah salah satu metode berdoa dan salah satu
pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah swt. Maksud sesungguhnya adalah
Allah swt. Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator
untukmendekatkan diri kepada Allah swt. Siapapun yang meyakini di luar batasan
ini berarti ia telah musyrik.
Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan
mediator tersebut kecuali karenaia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah
swt. mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akanmenjadi
orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.
Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang
dijadikan untuk bertawassul kepada Allah swt. itu bisa memberimanfaat dan
derita dengan sendirinya sebagaimana Allah swt. atau tanpa izinNya, niscaya ia
musyrik.
Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya doa
tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah swt.
secara mutlak, sebagaimana firman Allah swt.:
وَإِذَا
سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا
دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“ Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku,maka
(jawablah), bahwasanya Akuadalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang
berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintahKu) danhendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah:186)
قُلِ ادْعُوا اللهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا
تَدْعُوا فَلَهُ اْلأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ
تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلاً
“Katakanlah: “ Serulah Allah atau serulah ar-Rahman dengan
nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma’ al-Husna (nama-nama yang
terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah
pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antarakedua itu .” (QS.
al-Isra`:110)
Bentuk Tawassul yang Disepakati Ulama
Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan
tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca
al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat,
bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk
diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.
Dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah
sebuahhadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah
seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain
dengantindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar,
dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan
menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan
yang mendera mereka.
Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya
dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya,
khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah fi at-Tawassul wa
al-Wasilah”.
Titik Perbedaan
Sumber perbedaan dalam masalahtawassul adalah tawassul
dengan selain amal orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau
orang dengan mengatakan: “Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad saw,
atau dengan AbuBakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali ra.” Tawassul model
inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar
formalitas bukan substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah
tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan
hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras
kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas,
keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis
kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.
Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan
orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri
yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan: Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan
siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut.
Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk
prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan
tawassul itumencintai Allah swt, yang berjihaddi jalan Allah swt. Atau karena
ia meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana
firman Allah swt.: “يحبّونهم ويحبّونه” atau sifat-sifat di atas seluruhnya berada pada orang yang
dijadikan obyek tawassul.
Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan
bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang
bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang
dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggungjawabkan olehnya dan akan mendapat
pahala karenanya.
Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku,
saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintaiMu. Ia orang yang
ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu.Saya meyakini Engkau mencintainya dan
Engkau ridha terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku
kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti inidan
itu.”
Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan
ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya
hal yang samar, baik di bumi maupun langit.Dzat yang mengetahui mata
yangberkhianat dan isi hati yang tersimpan.
Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu
dengan NabiMu,” itu sama denganorang yang mengatakan: “Ya Allah, saya
bertawassul kepadaMudengan rasa cintaku kepada NabiMu.”
Karena orang yang pertama tidakakan berkata demikian kecuali
karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan
kepercayaan kepada Nabi ini tidakada maka ia tidak akan bertawassul dengan
Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.
Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra
masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perluberdampak
perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkanvonis kufur terhadap orang-orang
yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.
سُبْحَانك هَذَا بُهْتَان عَظِيم
Dalil-Dalil Tawassul yang Dipraktekkan Kaum Muslimin
Allah swt. berfirman:
يَآ أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا
إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ
Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah swt.
sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah swt. dan sebagai media untuk
mencapai kebutuhan.Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan
wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.
Lafadz al-Wasilah dalam ayat di atas bersifat umum
sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia
dari kalangan para Nabi dansholihin baik di dunia maupun sesudah mati dan
tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Tawassul
dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akananda dengar terdapat
keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan
seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassuldengan Nabi saw. sebelum wujudnya
beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah
dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.
Tawassul dengan Nabi Muhammad SAW Sebelum Wujud di Dunia
Nabi Adam as. bertawassul denganNabi Muhammad saw.
Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam
as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam al-Mustadrok, Imam al-Hakim berkata: Abu Sa’id Amr
ibnu Muhammad al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak
Ibnu Ibrahim al-Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits Abdullah ibnu
Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, Abdurrahman ibnu Zaidibnu Aslam
menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda:”Ketika Adam melakukankesalahan, ia berkata Ya
Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.”
Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum
menciptakanya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan
kekuatanMu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu,maka aku
tengadahkan kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa
Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak
menyandarkan namaMu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab
Adam. “Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai.
Berdo’alah kepadaKu dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya
tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.
Imam al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al
Mustadrok dan menilainya sebagaihadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al Hafidh As
Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan
sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatkanya dalam kitab Dalail
Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia
jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al
Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki
dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainya sebagai hadits shahih. Al Hafidh
Al Haitami berkata, “At Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam Al Ausath dan
di dalamhadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” Majma’uzzawaid
vol. 8 hal. 253.
Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan
redaksi: “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga
dan neraka.”
HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya
shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini
shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al Wafaa pada
bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. 1 hlm.
180.
Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut
lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu
(maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya
sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar.
Dari penjelasan ini,tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam
menilainya.Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra
berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari
aspeksanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak
penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.
Dokumen-Dokumen tentang Hadits Tawassul Adam As
Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya
berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi
meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya,
“Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi
dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan
menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis ) ‘arsy “Muhammad
Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yangditempati oleh
Adam dan Hawwaa’.Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah.
Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allahmenghidupkan
Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan
kepadanya bahwa Muhammad ( yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu. Ketika
Adam dan Hawwa’terpedaya oleh syetan, keduanyabertaubat dan memohon
syafa’atdengan namaku kepada-Nya.”
Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab
Dalaailual-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan
kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid,
menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri,menceritakan kepadaku Abdullah
ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari
‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam
melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak
Muhammad,mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan
lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau
menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan
ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah Muhammadun
Rasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhlukEngkau yang paling
mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkainamanya dengan nama-Mu,” jawab Adam.
“Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari
keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”
Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya
seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini menunjukkan bahwa hadits di atas
layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits maudlu’ atau bathil tidak
bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri
bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran.
Comments
Post a Comment