Bismillah….
Afwan saya mau bertanya Siapakah yang memimpin tahlilan pada saat Rasulullah
Shalallaah Alaihi Wasallam wafat ? Siapakah yang memimpin tahlilan pada saat Imam Syafi’i wafat
?
Jawaban
soal
1. Tidak ada yang memimpin tahlilan saat NABI MUHAMMAD SAW
wafat, alasannya karena NABI MUHAMMAD SAW adalah maksum dan beliau sudah
dijamin dengan rahmat ALLAHU SWT masuk surga, , kalau saat RASULLLAH
SAW wafat diadakan tahlilan itu artinya menganggap dan menuduh NABI tidak
maksum, , tahlilan hanya berlaku bagi mereka yang tidak maksum dan
tidak mendapat jaminan rahmat masuk SURGA, , karena RASULULLAH SAW
adalah maksum maka tidak ada tahlilan untuk beliau karena tidak ada tahlilan
maka tidak ada seorangpun yang memimpin tahlilan.
2. Yang memimpin tahlilan ketika imam syafi’i wafat adalah
seorang wali (penguasa) yang bernama Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam. Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam adalah
seseorang yang diwasiatkan oleh Imam Syafi’i, apabila beliau wafat agar
dimandikan dan diurus oleh Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, dari memandikan,
memimpin sholat jenazah, menguburkan, mendo’akan serta tahlilan bersama jama’ah
yang lain yang hadir saat Imam Syafi’i wafat. Kisah detik detik wafatnya Imam
Syafi’i dan wasiatnya tertulis dalam tarikh sejarah, dan bahkan wikipedia juga
ada kok menuliskan ini berikut cuplikan kisah wafatnya Imam Syafi’i :
Pada suatu hari, Imam Syafi’i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang
jika ia naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai
pelana dan kaus kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat
tahun, ia menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan
empat ribu lembar. Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji
baik siang maupun malam.
Pada
suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, “Bagamana kondisi
Anda wahai guru?” Imam Syafi’i menjawab, “Aku telah siap meninggalkan dunia,
meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian, kepada
Allah dzikir terus terucap. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku
akan berjalan menuju surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang
menuju neraka sehingga aku harus berkabung?”.
Setelah
itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, “Jika aku
meninggal, pergilah kalian kepada wali (penguasa), dan mintalah kepadanya agar
mau memandikanku,” lalu sepupunya berkata, “Kami akan turun sebentar untuk
salat.” Imam menjawab, “Pergilah dan setelah itu duduklah disini menunggu
keluarnya ruhku.” Setelah sepupu dan murid-muridnya salat, sang Imam bertanya,
“Apakah engkau sudah salat?” lalu mereka menjawab, “Sudah”, lalu ia minta
segelas air, pada saat itu sedang musim dingin, mereka berkata, “Biar kami
campur dengan air hangat,” ia berkata, “Jangan, sebaiknya dengan air safarjal”.
Setelah itu ia wafat. Imam Syafi’i wafat pada malam Jum’at menjelang subuh pada
hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada
usia 52 tahun.
Tidak
lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka
melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah di
atas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka.
Tidak
ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk
yang telah pergi.
Sejumlah
ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam,
memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya.
Ia berkata kepada mereka, “Apakah Imam meninggalkan hutang?”, “Benar!” jawab
mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang
Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam.
Jenazah
Imam Syafi’i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya
hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan,
Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam ke rumahnya, setelah
jenazah dimasukkan, dia turun ke halaman rumah kemudian salat jenazah, dan
berkata, “Semoga Allah merahmati asy-Syafi’i, sungguh ia benar-benar berwudhu
dengan baik.”
Jenazah
kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia
dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafi’i sampai hari ini,
dan disana pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi’i.
Penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40
malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya peziarah.
ASWAJA Bidang IT
Comments
Post a Comment