Adapun yang
berkata : Kami disirami hujan berkat anugerah dan rahmat Allah maka ia
beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang. Sebaliknya orang yang berkata :
kami disirami hujan berkat bintang ini atau itu maka ia kafir kepada-Ku dan
beriman kepada bintang. Kekufuran ini terjadi karena memandang perantara
sebagai yang memberikan pengaruh dan yang menciptakan. Imam al-Nawawi berkata :
pendapat para Ulama terbelah menjadi dua menyangkutkekufuran orang yang
mengatakan : Kami disirami hujan berkat bintang ini.
http://bebasbayar.com/?b=16e97f54
Pendapat pertama
: menyatakan bahwa perkataan ini adalah kekufuran kepada Allah dan
mencabut dasar keimanan serta dapat mengeluarkan dari agama Islam. Dalam
pandangan ulama kekufuran bisa terjadi atas mereka yang mengatakan perkataan
tersebut seraya meyakini bahwa bintang adalah pelaku, pengatur dan pencipta
hujan sebagaimana anggapan sebagian kaum jahiliyyah.
Siapapun yang
memiliki keyakinan semacam ini maka tidak disangsikan lagi telah kafir. Ini
adalah pandangan mayoritas ulama diantaranya Imam Asy-Syafi’i dan sesuai dengan
makna literal dalam hadits. Karenaitu, dalam pandangan mereka seandainya
mengatakan : kami disirami hujan berkat bintang ini dengan tetap meyakini bahwa
hujan itu dari dan berkat rahmat Allah SWT sedang bintang cuma dianggap sebagai
waktu dan ciri berdasarkan kebiasaan maka seolah-olah ia mengatakan : kami
disirami hujan pada waktu bintangini, berarti ia tidak kufur.
Para ulama
berbeda pendapat menyangkut kemakruhan perkataan : kami disirami hujan berkat
bintang ini. Namun kemakruhan ini sebatas makruh tanzih yang tidak berimplikasi
dosa. Penyebab kemakruhan adalah karena kalimat ini berada dalam posisi kufur
dan tidak, yang bisa berdampak sangkaan buruk bagi pengucapnya. Dan juga ia
adalah lambang jahiliyyah dan mereka yang meniru cara hidup jahiliyyah.
Pendapat kedua :
Pada dasarnya
penafsiran hadits Nabi menyatakan bahwa kufur terhadap nikmat Allah sebab
membatasi terjadinya hujan terhadap bintang. Kufur nikmat ini berlaku bagi
orang yang tidak meyakini peranan bintang. Penafsiran ini didukung oleh riwayat
terakhir pada bab ini ; Sebagian orang, di pagi hari ada yang bersyukur dan ada
yang kufur.
Dalam riwayat
lain ; Allah tidak menurunkan berkah dari langit kecuali sebagian manusia
mengkufuri terhadap berkah itu. Kata بها (terhadap
berkah itu) menunjukkan kekufuran yang terjadi adalah kufur nikmat. Wallahu
A’lam.
Anda bisa
melihat bahwa Imam An-Nawawi menyatakan adanya konsensus ulama bahwa siapapun
yang menisbatkan tindakan kepada perantara tidak berdampak kufur kecuali
disertai keyakinan bahwa perantara itu yang bertindak sebagai pelaku, pengatur
dan pencipta.
Namun jika
perantara tidak dilihatdemikian namun hanya menganggap perantara adalah
ciriatau tempat terjadinya penciptaan yang telah ditakdirkanmaka vonis kufur
tidak jatuh. Syara’ malah kadang mengajak untuk memandang perantara sebagaimana
sabda Nabi :
من أسدى إليكم معروفا فكافئوه فان لم تستطيعوا فادعوا له حتى تعلموا
أنكم قد كافأتموه
“Siapapun yang
memberi kebaikankepada Anda maka balaslah ia. Jika Anda tidak mampu membalasnya
maka doakanlah ia sampai kalian menyadari telah membalas kebaikannya.”
Dan sabda Nabi
yang lain :
من لم يشكر الناس لم يشكر الله
“Siapa yang
tidak bersyukur kepada manusia, ia tidak akan bersyukur kepada Allah.”
Ajakan syara’
ini berdasarkan pertimbangan bahwa memandang perantara dari sudut pandang
demikian tidak berarti meniadakan anugerah dari Allah. Banyak ayat dimana Allah
‘Azza wa Jalla memberikan pujian atas perbuatan baik para hamba-Nya dan malah
memberi mereka pahala atas perbuatan tersebut. Allah adalah Dzat yuang mendorong
mereka berbuat baik dan menciptakan kemampuan mereka untuk mengerjakannya.
Allah berfirman yang Artinya :
“Dia adalah sebaik- baik hamba.
Sesungguhnya Dia Amat taat ( kepada Tuhannya ).”
( Q.S.Shaad : 30 )
Dan juga dalam
FirmanNya:
Bagi orang-orang
yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik ( surga ) dan tambahannya.”(
Q.S.Yunus :26
)
Juga dalam
FirmanNya yang lain:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”( Q.S.Asy.Syams : 9 )
Jika telah jelas
di mata Anda bahwa tindakan (al-fi’l) dapat digunakan dalam beragam makna maka
makna-makna tersebut tidaklah berbenturan jika dipahami dengan jernih.
Makna-makna yang terkandung dalam ungkapan lebih luas dari ungkapan itu sendiri
dan hati lebih luas dari buku-buku yang dikarang. Jika kita terpaku pada lafadz
dalam arti hakiki tanpa memandang majaz maka kita tidak akan mampu
mengkompromikan antara teks-teks atau membedakannya. Silahkan Anda perhatikan
informasi yang disampaikan Allah tentang Nabi Ibrahim AS dalam :
رب
إنهن أضللن كثيرا من الناس
apakah Anda
menilai Nabi Ibrahim menyekutukan Allah dengan benda mati ? Padahal beliaulah
yang bertanya :
أتعبدون
ما تنحتون والله خلقكم وما تعملون
Kompromi
terhadap dua ayat ini adalah bahwa siapapun yang menyekutukan Allah dengan yang
lain dalam segi penciptaan dan memberikan pengaruh maka ia telah musyrik baik
obyek lain itu benda mati atau manusia, baik Nabi atau bukan. Dan
barangsiapayang meyakini adanya penyebab dalam hal di atas baik penyebab itu
berlaku secara umum atau tidak kemudian menjadikan Allah sebagai penyebab atas
terjadinyamusabbab dan bahwa pelakunya (al-fa’il) adalah Allah semata tidakada
yang menyukutui maka ia adalah seorang mukmin meskipun salah dalam menilai apa
yang bukan sebab dianggap sebagai sebab. Karena kesalahannya terletak pada
sebab bukan pada yang menciptakan sebab yang notabene adalah Sang Pencipta dan
Pengatur SWT.
Comments
Post a Comment