Al-Quran
sebagai sumber utama Agama Islam memuat tiga ajaran. Pertama, ajaran
akidah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib diyakini
oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab
Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ajaran akhlak/tasawuf, yaitu
ajaran yang berintikan takhalli dan tahalli, yakni membersihkan jiwa dan
hati dari sifat-sifat tercela dan menghiasinya dengan sifat terpuji. Ketiga,
ajaran syariat, yaitu aturan-aturan praktis (al-ahkam al-‘amaliyah) yang
mengatur perilaku dan tingkah laku mukallaf, mulai dari peribadatan,
pernikahan, transaksi, dan seterusnya.
Yang
pertama dan kedua sifatnya universal dan statis, tidak
mengalami perubahan di manapun dan kapanpun. Tentang keimanan kepada Allah dan
hari akhir tidak berbeda antara orang dahulu dan sekarang, antara orang-orang
benua Amerika dengan benua Asia. Demikian juga, bahwa keikhlasan dan kejujuran
adalah prinsip yang harus dipertahankan, tidak berbeda antara orang Indonesia
dengan orang Nigeria. Penipuan selalu buruk, di manapun dan kapanpun. Dalam
segmen keyakinan dan tuntunan moral ini, Islam tidak bisa di-embel-embeli dengan
nama tempat, nama waktu, maupun nama tokoh.
Sementara
yang ketiga, yaitu ajaran syari’at, masih harus dipilah
antara yang tsawabith/qath’iyyat dan ijtihadiyyat. Hukum-hukum
qath’iyyat seperti kewajiban shalat lima kali sehari semalam, kewajiban
puasa, keharaman berzina, tata cara ritual haji, belum dan tidak akan mengalami
perubahan (statis) walaupun waktu dan tempatnya berubah. Shalatnya orang Eropa
tidak berbeda dengan salatnya orang Afrika. Puasa, dari dahulu hingga Kiamat
dan di negeri manapun, dimulai semenjak Subuh dan berakhir saat kumandang azan
Maghrib. Penjelasan Al-Quran dan As-Sunah dalam hukum qath’iyyat ini
cukup rinci, detil, dan sempurna demi menutup peluang kreasi akal. Akal pada
umumnya tidak menjangkau alasan mengapa, misalnya, berlari bolak-balik tujuh
kali antara Shafa dan Marwa saat haji. Oleh karena itu akal dituntut tunduk dan
pasrah dalam hukum-hukum qath’iyyat tersebut.
Sementara itu,
hukum-hukum ijtihadiyyat bersifat dinamis, berpotensi untuk
berubah seiring dengan kemaslahatan yang mengisi ruang, waktu, dan kondisi
tertentu. Hukum kasus tertentu dahulu boleh jadi haram, tapi sekarang atau
kelak bisa jadi boleh. Al-Quran dan As-Sunah menjelaskan hukum-hukum jenis ini
secara umum, dengan mengemukakan prinsip-prinsipnya, meski sesekali merinci.
Hukum ini memerlukan kreasi ijtihad supaya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan
lingkungan sosial.
Para tabi’in
berpendapat bahwa boleh menetapkan harga (tas’ir), padahal Nabi Muhammad Shallallahu
Alaihi wa Sallam melarangnya. Tentu saja mereka tidak menyalahi As-Sunah.
Perbedaan putusan itu karena kondisi pasar yang berubah, yaitu bahwa pada masa
Nabi SAW harga melambung naik karena kelangkaan barang dan meningkatnya
permintaan, sedangkan pada masa tabi’in disebabkan keserakahan pedagang. (Nailul
Authar, V, 220) Di sini, para tabi’in membedakan antara-apa yang disebut
ekonomi modern dengan-pasar persaingan sempurna dari pasar monopoli atau
oligopoli misalnya.
Para tabi’in
juga memfatwakan larangan keluar menuju masjid untuk perempuan muda karena
melihat zaman demikian rusak, banyak laki-laki berandal yang sering usil hingga
berbuat jahil, (Al-Muntaqa Syarḥul
Muhadzdzab, I, 342) padahal Nabi sendiri bersabda-seperti dalam riwayat Abu
Daud
لا تمنعوا اماء الله مساجد الله، ولكن
ليخرجن تفلات. رواه أبو داود عن أبي هريرة. -
supaya
jangan sampai perempuan dilarang keluar menuju masjid.
Dalam
pengertian hukum yang terakhir ini kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’
kata deiksis, seperti Islam Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya.
Makna Islam Nusantara tak lain adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan
Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash,
syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah “Islam
Nusantara”, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun,
apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan
bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an. Ini persis sama dengan nama FPI misalnya,
saya benar-benar yakin kalau anggota FPI tidak bermaksud bahwa selain mereka
bukan pembela Islam.
Oleh KH. Afifuddin Muhajir
Comments
Post a Comment