Arab Saudi
adalah pusat sejarah Islam dunia. Namun, akhir-akhir ini bermunculan
orang-orang yang mengaku diri atheis, tidak percaya pada Tuhan dan juga
tidak mau beragama. Trend ini adalah sebuah perubahan pola pikir dari sebagian
kalangan masyarakat Arab.
Kejadian ini
mengejutkan, namun terkesan logis. Betapa pandangan tentang agama yang ekstrim
dan sebaliknya sikap ekstrim kepada keberagaman agama bisa meningkatkan jumlah
atheisme di kalangan para klerik dan orang-orang yang serius menekuni agama.
Begitu mudah
ungkapan mengkafirkan dari satu sekte dan golongan di Timur Tengah, bahkan di
antara mereka terlibat konflik fisik yang menelan jiwa, pada akhirnya simptom
begitu enteng dengan kata “kafir”, seolah bukan lagi menjadi hal penting dan
berat. Dan dari kondisi macam ini, yang memicu munculnya demam atheisme.
Desember lalu
(2014), Dar Al Ifta, lembaga yang berbasis di Kairo membuat jajak pendapat
jumlah atheis di Mesir yang jumlahnya ternyata tercatat 866 orang. Jajak
pendapat tersebut juga mencari tahu jumlah atheis di negara-negara Arab
lainnya, seperti :
Maroko 325
orang.
Tunisia 320
orang.
Irak 242 orang.
Arab Saudi 6
juta orang.
Yordania 170
orang.
Sudan 70 orang.
Suriah 56 orang.
Libya 34 orang.
Yaman 32 orang.
Ternyata fakta
membuktikan bahwa orang yang tidak menganut agama apapun atau atheis tercatat
sebagai terbanyak ketiga di seluruh dunia, setelah Kristen dan Islam. Ateis
terbanyak dilaporkan terdapat di negara China yang menganut paham komunis.
Laporan ini
berdasarkan hasil survei lembaga Pew yang dilansir Reuters, Selasa 18 Desember
2012. Dalam laporan bertajuk “The Global Religious Landscape” yang ditulis oleh
Pew Forum on Religion and Public Life, ateis, orang-orang yang tidak beragama,
atau penganut aliran kepercayaan berjumlah sekitar 1,1 miliar di seluruh dunia.
Uniknya para
komentator mentertawakan jumlah angka atheis di negara Arab. Harian Inggris The
Guardian pernah mewawancari Rabab Kamal, seorang aktivis sekuler Mesir, yang
mempercaya angka 866 adalah angka yang tidak “Saya bisa menghitung jumlah ateis
lebih banyak dari jumlah itu di Universitas Al Azhar saja,” jawabnya mengacu
pada universitas Islam terbesar di dunia berbasis di Kairo, yang telah menjadi
pusat pembelajaran Islam selama hampir 1.000 tahun.
Brian Whitaker,
seorang wartawan dan penulis buku “Arab Tanpa Tuhan”, menulis, “Satu petunjuk
yang mungkin adalah bahwa angka untuk Jordan (170) kira-kira sesuai dengan
keanggotaan kelompok atheis Yordania di Facebook. Jadi kelihatannya Surveyor
hanya berusaha untuk mengidentifikasi para atheis dari berbagai negara yang
aktif di media sosial.”
Bahkan standar
angka Dar Al Ifta ini terlalu rendah. Di Facebook dalam bahasa Arab dan bahasa
Inggris, ketika dituliskan “atheis” yang ditag dengan kata kuci negara-negara
Arab, muncul lebih dari 250 page atau group, dengan keanggotaan mulai dari
beberapa individu sampai lebih dari 11.000 orang. Dan angka-angka ini hanya
berkaitan dengan atheis Arab yang berkomitmen untuk meninggalkan jejak online.
Adapun Sejarawan
Mesir Abdel Hamed-Samad lebih jauh lagi berprediksi, “Dugaan saya adalah,
setiap keluarga Mesir mengandung seorang atheis, atau setidaknya seseorang
dengan ide-ide kritis tentang Islam. Mereka terlalu takut untuk mengatakan
apa-apa kepada siapa pun.” jelasnya.
Keluarga di Arab
memang cenderung merahasiakan anggotanya yang menjadi ateis bahkan secara umum
terjadi di masyarakat. Karena religiusitas Islam merupakan bagian dari DNA
komunitas di Arab. Menjadi pembentuk kerangka norma-norma masyarakatnya.
Sehingga apabila muncul atheisme yang terang-terangan, mereka sekuat tenaga
akan mencegahnya (walau di antara mereka yang menghalau atheisme itu seorang
atheis).
penulis
Palestina Waleed Al Husseini misalnya, yang dipenjara selama sepuluh bulan
setelah otoritas Palestina meyakini dia memposting blog pro-atheisme yang
disebut sebagai “ancaman bagi keamanan nasional”.
Namun, apabila
terang-terangan sedikit dihalangi bukan berarti angka yang besar itu bualan.
Pada tahun 2012, dalam sebuah jajak pendapat WIN / Gallup International
ditemukan bahwa 5 persen dari per satu juta orang warga Saudi teridentifikasi
sebagai “ateis” persentase yang sama seperti di Amerika Serikat.
19% dari
populasi Saudi (sekitar 6 juta orang) menganggap diri mereka sebagai “bukan
orang yang religius.” Kalah jauh dari Italia, yang hanya memiliki 15 persen
orang tidak religius dari enam juta orang. Angka-angka tersebut amat sangat
mengejutkan mengingat di banyak negara Arab, termasuk Arab Saudi, Uni Emirat
Arab, Sudan, dan Yaman, mereka yang atheis dianggap murtad dan diamcam hukuman
kematian.
Meskipun ada
tindakan keras dan hukuman yang permanen untuk membuat jera. Namun, persentase
atheis dan gnostik lebih tinggi di dunia Arab (22 persen) dibandingkan di Asia
Selatan (17 persen) dan Amerika Latin (16 persen).
Pada bulan
Januari, aktivis ateis Mesir Ahmed Harqan dalam wawancaranya dengan Ahram
Online, mengatakan “Jika negara mengakui hak-hak minoritas, jumlah mereka yang
mengaku ateis akan meningkat sepuluh kali lipat.”
Lalu mengapa
fenomena ini cenderung dibiarkan dalam sekam? Dan hanya mematikan percikan api
kecil yang keluar dari bilik sekam tersebut?
Jawabannya
adalah karena memang itulah yang “distandarkan” dari pemahaman “ideologi
wahabi” yang minus akal dan ekstrim. Baru baru ini bahkan terdengar kabar bahwa
sekelompok orang Kurdi menyatakan kembali kepada agama “leluhur” mereka
Zoroaster, karena ketidakpuasan “hidup dengan ekstrimisme wahabi”.
Model keislaman
ala salafi wahabi memang rentan sekali, sebab dasarnya adalah kepercayaan pada
teks, dan memusuhi penalaran rasional.
Begitu seorang
salafi mau berfikir kritis, maka dasar-dasar keimanan salafi langsung rontok.
Ahmad Harqan contoh yg sangat bagus.
Corak keislaman
salafi adalah ciri khas Wahabisme yg menonjol di Saudi Arabia. Yg menarik, trend
atheisme sangat marak di Saudi. Berita maraknya trend atheisme di Saudi
bukan baru. Situs Salon.com menyebutnya “ledakan”. Baca link ini:
salon.com/2014/06/12/ath…
akurat.
Bahkan akhir
Desember 2014 lalu ada konferensi kaum ateis Arab di Mekah, di sebuah hotel
dekat Masjidil Haram. Tentu diadakan dengan diam-diam. Saya menduga, ledakan
atheisme di Saudi ini disebabkan muaknya anak-anak muda Arab atas praktek Islam
ala Salafi Wahabi di Saudi yg sarat kemunafikan. Contoh Saudi harus menjadi
pelajaran bagi kita semua, yakni melaksanakan Islam dengan “norak” justru
menjadi “boomerang” bagi anak-anak muda.
Andai Dunia
Arab Ber-Pancasila
Pandangan
menarik datang dari seorang penulis wanita Arab Saudi, Nawar Fakhry Ezzy, yang
menulis dalam kolom Saudi Gazzete “Atheisme Di Arab Saudi.” bahwa Atheisme bisa
“ditangani” dari ajaran Islam yang moderat, Islam yang tidak kaku, dan tidak
saling tuduh pengkafiran dan pembid’ahan.
Sementara Salafisme-Wahabbi
menjadi salah satu aliran sekte yang terkemuka di Arab Saudi, tidak siap
menghadapi angin perubahan, karena kekakuan dan kejumudan cara
berpikirnya, bahkan tidak memiliki perangkat normatif untuk menghadapi laju
pemikiran yang terus berkembang.
Munculnya trend
ateisme di Arab Saudi ini bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok radikal
Islam dan makin ketatnya kontrol agama di dalam masyarakat tetapi kehidupan
para tokoh agama dan penguasa tidak sesuai dengan harapan banyak orang
“Dengan demikian,”
tulis Ezzy “Jawabannya adalah tidak memperlakukan mereka (yang tergoda
atheisme) sebagai individu yang tidak kompeten dengan mencegah mereka pada
akses jenis buku yang “bahaya” atau mengisolasi mereka. Sebaliknya, orang tua
dan sekolah harus mengajarkan anak-anak tentang keragaman budaya dan agama yang
ada di dunia dengan rasa penghargaan dan toleransi.” Tulisnya.
Ketika orang tua
menciptakan lingkungan yang aman di mana pendapat yang berbeda dihormati,
anak-anak mereka akan datang kepada orang tua untuk membahas rasa ragu dan
kekhawatiran mereka akan agama dan Tuhan. Karena tidak ada jaminan bahwa tidak
akan terjadi kebingungan pada agama di satu titik, terutama jika ada konflik
batin antara latar belakang agama dengan pendidikan rasional mereka di sekolah.
Apabila
ditangani dengan moderat oleh orang tua, tidak dengan sikap mengkafirkan
ilmu-ilmu dan membid’ahkan ajaran-ajaran tertentu, maka kebingungan ini dapat
menyebabkan “pencerahan”. Karena menurut Ezzy, Otak manusia utamanya anak muda,
membutuhkan dekontruksi ide.
“Terkadang
dengan ide-ide dan konflik untuk mencapai kejelasan dan menemukan keseimbangan
baru setelah dekonstruksi. Hanya dengan cara itulah iman bisa di dasarkan pada
keyakinan sikap, daripada kesepakatan sosial.” tulisnya.
Isolasi dan
hukuman syariah bertubi tubi di Arab Saudi bagi Ezzy justru menyebabkan
melemahnya iman seseorang lebih banyak daripada memperkuat imannya, karena
merasakan tidak aman dalam diri mereka, menghadapi keragaman lewat jalan
penghindaran entah melarang buku, pengkafiran, pembid’ahan atau kontak pribadi,
tidak akan pernah efektif.
“Karena
‘Bacalah’ adalah kata kunci wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW.
Kita tidak bisa menyalahkan buku dan lemahnya keyakinan orang pada kekurangan
kita sendiri. Pondasi iman harus dibangun pada kepuasan hati yang dicapai
karena mampu mengatasi keraguan dan kekhawatiran pada iman sebagaimana yang
dahulu diperankan oleh Nabi Ibrahim AS.
Ezzy, barangkali
belum mengenal Pancasila di Indonesia di mana falsafah tersebut mampu mengayomi
pelbagai pandangan sekte dalam Islam, juga agama lainnya, walau gagasan yang
diajukan Ezzy sejalan dengan pandangan Pancasila. Penghargaan kepada
keberagaman, di mana norma-norma pada kebaikan akan memenangkan diri di tengah
keberagaman dan kecintaan pada perbedaan warga negara.
Source: www.arrahmahnews.com
Comments
Post a Comment