Mayoritas ulama berpendapat bahwa
bilangan rakaat shalat Tarawih yang paling afdhal adalah dua puluh rakaat.
Berikut ini adalah dalil-dalil yang
di jadikan pijakan untuk mendukung pendapat tersebut.
1. Hadis mauquf.
وعن
ابن شهاب عن عروة بن الزبير عن عبد الرحمن بن عبد القاري، أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْت
مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إلَى الْمَسْجِدِ ، فَإِذَا
النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ ، وَيُصَلِّي
الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ . فَقَالَ عُمَرُ : إنِّي أَرَى لَوْ
جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ، ثُمَّ عَزَمَ
فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ . ثُمَّ خَرَجْت مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى
وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ . قَالَ عُمَرُ : نِعْمَ الْبِدْعَةُ
هَذِهِ…
“Diriwayatkan dari Ibnu Syihab, dari `Urwah bin al-Zubair, dari Abd. Rahman bin Abd. al-Qari, ia berkata: “Pada suatu malam di bulan Ramadhan, saya keluar ke masjid bersama Umar bin al-Khatthab. Kami mendapati masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok yang terpisah-pisah. Sebagian orang ada yang shalat sendirian. Sebagian yang lain melakukan shalat berjamaah dengan beberapa orang saja. Kemudian Umar berkata: “Menurutku akan lebih baik jika aku kumpulkan mereka pada satu imam.” Lalu Umar berketetapan dan mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka`ab. Pada kesempatan malam yang lain, aku (Rahman bin Abd. al-Qari) keluar lagi bersama Umar. (dan aku menyaksikan) masyarakat melakukan shalat secara berjamaah mengikuti imamnya. Umar berkata: “Ini adalah sebaik-baik bid`ah…” (HR. Bukhari).
Di dalam hadis yang lain disebutkan,
bilangan rakaat shalat Tarawih yang dilaksanakan pada masa Khalifah Umar bin
al-Khatthab adalah dua puluh.
عَنْ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : (كَانُوا يَقُومُونَ
عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
بِعِشْرِينَ رَكْعَةً.
“Diriwayatkan dari al-Sa`ib bin Yazid
radhiyallahu `anhu. Dia berkata : “Mereka (para shahabat) melakukan qiyam
Ramadhan pada masa Umar bin al-Khatthab sebanyak dua puluh rakaat.” Hadis kedua
ini diriwayatkan oleh Imal al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro, I/496. dengan
sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan oleh Imam al-`Aini, Imam
al-Qasthallani, Imam al-Iraqi, Imam al-Nawawi, Imam al-Subki, Imam al-Zaila`i,
Imam Ali al-Qari, Imam al-Kamal bin al-Hammam dan lain-lain.(10) Menurut
disiplin ilmu hadis, hadis ini di sebut hadis mauquf (Hadis yang mata rantainya
berhenti pada shahabat dan tidak bersambung pada Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam). Walaupun mauquf, hadis ini dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
pengambilan hukum (lahu hukmu al-marfu`). Karena masalah shalat Tarawih
termasuk jumlah rakaatnya bukanlah masalah ijtihadiyah (laa majala fihi li
al-ijtihad), bukan pula masalah yang bersumber dari pendapat seseorang (laa
yuqolu min qibal al-ra`yi).(11)
2. Ijma` para shahabat Nabi.
Ketika Sayyidina Ubay bin Ka`ab
mengimami shalat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat, tidak ada satupun shahabat
yang protes, ingkar atau menganggap bertentangan dengan sunnah Nabi shallallahu
alaihi wa sallam. Apabila yang beliau lakukan itu menyalahi sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam, mengapa para shahabat semuanya diam? Ini
menunjukkan bahwa mereka setuju dengan apa yang dilakukan oleh Sayyidina Ubay
bin Ka`ab. Anggapan bahwa mereka takut terhadap Sayyidina Umar bin al-Khatthab
adalah pelecehan yang sangat keji terhadap para shahabat. Para shahabat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam adalah orang-orang yang terkenal pemberani dan tak
kenal takut melawan kebatilan, orang-orang yang laa yakhofuna fi Allah laumata
laa`im. Bagaimana mungkin para shahabat sekaliber Sayyidina Ali bin Abi Thalib,
Sayyidina Utsman bin Affan, Sayyidina Abu Hurairah, Sayyidah A`isyah dan
seabrek shahabat senior lainnya (radhiyallahu `anhum ajma`in) kalah berani
dengan seorang wanita yang berani memprotes keras kebijakan Sayyidina Umar bin
al-Khatthab yang dianggap bertentangan dengan Al-Qur`an ketika beliau hendak
membatasi besarnya mahar?(12)
Konsensus (ijma`) para shahabat ini
kemudian diikuti oleh para tabi`in dan generasi setelahnya. Di masjid al-Haram
Makkah, semenjak masa Khalifah Umar bin al-Khatthab radhiyallahu `anhu hingga
saat ini, shalat Tarawih selalu dilakukan sebanyak dua puluh rakaat. KH. Ahmad
Dahlan, pendiri Perserikatan Muhammadiyah juga melakukan shalat Tarawih
sebanyak dua puluh rakaat, sebagaimana informasi dari salah seorang anggota
Lajnah Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang sekaligus pembantu Rektor
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA. Para ulama salaf tidak ada yang
menentang hal ini. Mereka hanya berbeda pendapat mengenai kebolehan melakukan
shalat Tarawih melebihi dua puluh rakaat.(13)
Imam Ibnu Taimiyah yang di
agung-agungkan oleh kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, dalam kumpulan
fatwanya mengatakan:
“Sesungguhnya telah tsabit (terbukti)
bahwa Ubay bin Ka`ab mengimami shalat pada bulan Ramadhan dua puluh rakaat dan
Witir tiga rakaat. Maka banyak ulama berpendapat bahwa hal itu adalah sunnah,
karena Ubay bin Ka`ab melakukannya di hadapan para shahabat Muhajirin dan
Anshar dan tidak ada satupun di antara mereka yang mengingkari…”(14)
Di samping kedua dalil yang sangat
kuat di atas, ada beberapa dalil lain yang sering digunakan oleh para pendukung
Tarawih dua puluh rakaat. Namun, menurut hemat penulis, tidak perlu
mencantumkan semua dalil-dalil tersebut. Karena di samping dha`if, kedua dalil
di atas sudah lebih dari cukup.
Dalil Tarawih 8 Rakaat
Sebagian ulama ada yang berpendapat
shalat Tarawih delapan rakaat lebih afdhal. Bahkan ada yang ekstrim, yaitu
sebagian umat Islam yang berkeyakinan shalat Tarawih tidak boleh melebihi
delapan rakaat. Syekh Muhammad Nashir al-Din al-Albani berpendapat bahwa shalat
Tarawih lebih dari sebelas rakaat itu sama saja dengan shalat Zhuhur lima
rakaat.(15)
Berikut ini adalah beberapa dalil
yang biasa mereka gunakan untuk membenarkan pendapatnya sekaligus sanggahannya.
1. Hadis Ubay bin Ka`ab :
أخبرنا
أحمد بن علي بن المثنى ، قال : حدثنا عبد الأعلى بن حماد ، قال : حدثنا يعقوب
القمي ، قال : حدثنا عيسى بن جارية ، حدثنا جابر بن عبد الله ، قال : جاء أبي بن
كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء –
يعني في رمضان – قال : وما
ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال :
فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : “Ubay bin Ka`ab datang menghadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam lalu berkata : “Wahai Rasulullah tadi malam ada sesuatu yang saya lakukan, maksudnya pada bulan Ramadhan.” Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian bertanya: “Apakah itu, wahai Ubay?” Ubay menjawab : “Orang-orang wanita di rumah saya mengatakan, mereka tidak dapat membaca Al-Qur`an. Mereka minta saya untuk mengimami shalat mereka. Maka saya shalat bersama mereka delapan rakaat, kemudian saya shalat Witir.” Jabir kemudian berkata : “Maka hal itu sepertinya diridhai Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan beliau tidak berkata apa-apa.” (HR. Ibnu Hibban). Hadis ini kualitasnya lemah sekali. Karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang bernama Isa bin Jariyah. Menurut Imam Ibnu Ma`in dan Imam Nasa`i, Isa bin Jariyah adalah sangat lemah hadisnya. Bahkan Imam Nasa`i pernah mengatakan bahwa Isa bin Jariyah adalah matruk (hadisnya semi palsu karena ia pendusta). Di dalam hadis ini juga terdapat rawi bernama Ya`qub al-Qummi. Menurut Imam al-Daruquthni, Ya`qub al-Qummi adalah lemah (laisa bi al-qawi).(16)
2. Hadis Jabir :
حدثنا
عثمان بن عبيد الله الطلحي قال نا جعفر بن حميد قال نا يعقوب القمي عن عيسى بن
جارية عن جابر قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في شهر رمضان ثماني
ركعات وأوتر.
Dari Jabir, ia berkata : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah mengimami kami shalat pada bulan Ramadhan delapan rakaat dan Witir.” (HR. Thabarani).(17) Hadis ini kualitasnya sama dengan Hadis Ubay bin Ka`ab di atas, yaitu lemah bahkan matruk (semi palsu). karena di dalam sanadnya terdapat rawi yang sama, yaitu Isa bin Jariyah dan Ya`qub al-Qummi.(18)
3. Hadis Sayyidah A`isyah tentang
shalat Witir :
مَا
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ
وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat.” (Muttafaq `alaih). Menurut kelompok pendukung Tarawih delapan rakaat, sebelas rakaat yang di maksud pada hadis ini adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat Witir.
Dari segi sanad, hadis ini tidak
diragukan lagi keshahihannya. Karena di riwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Imam
Muslim dan lain-lain (muttafaq `alaih). Hanya saja, penggunaan hadis ini
sebagai dalil shalat Tarawih perlu di kritisi dan di koreksi ulang.
Berikut ini adalah beberapa kritikan
dan sanggahan yang perlu diperhatikan oleh para pendukung Tarawih delapan
rakaat :
1. Pemotongan hadis.
Kawan-kawan yang sering menjadikan
hadis ini sebagai dalil shalat Tarawih, biasanya tidak membacanya secara utuh,
akan tetapi mengambil potongannya saja sebagaimana disebutkan di atas. Bunyi hadis
ini secara sempurna adalah sebagai berikut :
عَنْ
أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ أخبره أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ –رضي
الله عنها- : كَيْفَ كَانَتْ صَلَاةُ رَسُولِ اللَّهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ- فِي رَمَضَانَ ؟ قَالَتْ : مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى
عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ
وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّي أَرْبَعًا فَلَا تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ
، ثُمَّ يُصَلِّي ثَلَاثًا ، قَالَتْ عَائِشَةُ : فَقُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ
، أَتَنَامُ قَبْلَ أَنْ تُوتِرَ ؟ فَقَالَ : يَا عَائِشَةُ ، إِنَّ عَيْنَيَّ
تَنَامَانِ وَلَا يَنَامُ قَلْبِي.
dari Abi Salamah bin Abd al-Rahman, ia pernah bertanya kepada Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha perihal shalat yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. A`isyah menjawab : “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menambahi, baik pada bulan Ramadhan maupun selain bulan Ramadhan, dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat, dan jangan kamu tanyakan baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat. A`isyah kemudian berkata : “Saya berkata, wahai Rasulullah, apakah anda tidur sebelum shalat Witir?” Beliau menjawab : “Wahai A`isyah, sesungguhnya kedua mataku tidur, akan tetapi hatiku tidak tidur.”
Pemotongan hadis boleh-boleh saja
dilakukan, dengan syarat, orang yang memotong adalah orang alim dan bagian yang
tidak disebutkan tidak berkaitan dengan bagian yang disebutkan. Dalam arti,
pemotongan tersebut tidak boleh menimbulkan kerancuan pemahaman dan kesimpulan
yang berbeda.(19) Pemotongan pada hadis di atas, berpotensi menimbulkan
kesimpulan berbeda, karena jika di baca secara utuh, konteks hadis ini sangat
jelas berbicara tentang shalat Witir, bukan shalat Tarawih, karena pada akhir
hadis ini, A`isyah menanyakan shalat Witir kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam.(20)
2. Kesalahan dalam memahami maksud
hadis.
Dalam hadis di atas, Sayyidah A`isyah
dengan tegas menyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah
melakukan shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada
bulan-bulan yang lain. Shalat yang dilakukan sepanjang tahun, baik pada bulan
Ramadhan maupun bulan lainnya, tentu bukanlah shalat Tarawih. Karena shalat
Tarawih hanya ada pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu para ulama berpendapat
bahwa hadis ini bukanlah dalil shalat Tarawih. Akan tetapi dalil shalat Witir.
Kesimpulan ini diperkuat oleh hadis
lain yang juga diriwayatkan oleh Sayyidah A`isyah radhiyallahu `anha.
عن
عائشة – رضي الله
عنها – : قالت : «
كان النبيُّ -صلى الله عليه وسلم- يُصلِّي من الليل ثلاثَ عَشْرَةَ ركعة ، منها
الوتْرُ وركعتا الفجر
».
Dari A`isyah radhiyallahu `anha, ia berkata : “Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat malam tiga belas rakaat, antara lain shalat Witir dan dua rakaat Fajar.” (HR. Bukhari).(21)
3. Pemenggalan Hadis.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
kawan-kawan pendukung Tarawih delapan rakaat mengatakan bahwa maksud dari pada
sebelas rakaat pada hadis di atas adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat
Witir. Hal ini tidak tepat. Karena ini berarti satu hadis yang merupakan dalil
untuk satu paket shalat dipenggal menjadi dua, delapan rakaat Tarawih dan tiga
rakaat Witir.(22)
Di sisi lain, jika kita menyetujui
pemenggalan ini, maka kita harus menyetujui bahwa selama bulan Ramadhan Nabi
shallallahu alaihi wa sallam hanya melakukan shalat Witir tiga rakaat saja. Ini
tidak pantas bagi beliau yang merupakan tauladan bagi umat dalam hal ibadah.
Imam al-Tirmidzi mengatakan : “Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa
sallam shalat Witir 13, 11, 9, 7, 5, 3 dan 1 rakaat.”(23) Apabila di selain bulan
Ramadhan saja beliau melakukan shalat Witir sebanyak 13 atau 11 rakaat,
pantaskah beliau hanya melakukan shalat Witir hanya tiga rakaat saja pada bulan
Ramadhan yang merupakan bulan ibadah?
4. Inkonsisten dalam mengamalkan
hadis.
Dalam hadis di atas secara jelas
dinyatakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah melakukan
shalat melebihi sebelas rakaat baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan
yang lain. Kalau mau konsisten, kawan-kawan yang memahami bahwa sebelas rakaat
pada hadis di atas maksudnya adalah delapan rakaat Tarawih dan tiga rakaat
Witir, seharusnya mereka melakukan shalat Tarawih dan Witir sepanjang tahun,
dan bukan pada bulan Ramadhan saja. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Entah
dasar apa yang mereka pakai untuk memenggal hadis tersebut pada bulan Ramadhan
saja.
5. Kontradiksi dengan pemahaman para
shahabat Nabi.
Pemenggalan hadis seperti itu juga
bertentangan dengan konsensus (ijma`) para shahabat radhiyallahu `anhum
termasuk diantaranya Khulafa` al-Rasyidin yang melakukan shalat Tarawih dua
puluh rakaat. Hal itu berarti juga bertentangan dengan tuntunan Nabi Muhammad
shallallahu alaihi wa sallam. Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan kita untuk mengikuti jejak para Khulafa` al-Rasyidin. Dalam
sebuah hadis disebutkan :
عَلَيْكُمْ
بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
“Ikutilah sunnahku dan sunnah al-Khulafa` al-Rasyidin setelahku!” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).(24)
Dalam hadis yang lain disebutkan :
اقْتَدُوا
بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
“Ikutilah orang-orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar!” (HR. Ahmad, al-Tirmidzi, Ibnu Majah dan lain-lain).(25)
Dalam hadis yang lain juga disebutkan
:
إن
الله جعل الحق على لسان عمر وقلبه
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan dan hati Umar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, al-Tirmidzi dan lain-lain).(26)
6. Kerancuan linguistik.
Kata tarawih dalam bahasa Arab adalah
bentuk jamak dari kata tarwihah, yang secara kebahasaan berarti
mengistirahatkan atau istirahat sekali. Jika di jamakkan, maka akan berarti
istirahat beberapa kali, minimal tiga kali. Karena minimal jamak dalam bahasa
Arab adalah tiga. Shalat qiyam Ramadhan disebut dengan shalat Tarawih, karena
orang-orang yang melakukannya beristirahat tiap sehabis empat rakaat.(27)[i]
Maka Dari sudut bahasa, shalat Tarawih adalah shalat yang banyak istirahatnya,
minimal tiga kali. Hal ini pada gilirannya menunjukkan bahwa rakaat shalat
Tarawih lebih dari delapan, minimal enam belas. Karena jika seandainya shalat
Tarawih hanya delapan rakaat, maka istirahatnya hanya sekali. Tentu hal ini
sangatlah rancu ditinjau dari segi kebahasaan.(28)
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas sekali
bahwa shalat Tarawih dua puluh rakaat lebih afdhal dibanding delapan rakaat.
Dengan dalil ijma` shahabat di dukung hadis mauquf berkualitas shahih yang
diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi di dalam al-Sunan al-Kubro. Sementara tidak
ada dalil shahih yang mendukung keutamaan shalat Tarawih delapan rakaat atas
shalat Tarawih dua puluh rakaat. Yang ada hanyalah dalil-dalil dha`if, bahkan
matruk (semi palsu) atau dalil shahih yang di salah-pahami.
Namun perlu di ingat, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, perbedaan ini hanyalah berkisar seputar mana yang lebih
afdhal? Jadi, tidak selayaknya kelompok yang lebih memilih melaksanakan shalat
Tarawih dua puluh rakaat melecehkan atau menyesatkan kelompok yang memilih
melakukannya delapan rakaat. Begitu pula sebaliknya. Apalagi sampai saling
mengkafirkan. Sungguh sangat disesalkan, di bulan Ramadhan yang agung, bulan
untuk berlomba-lomba mencari pahala, berkah, rahmah dan ampunan dari Allah
Subhanahu wa Ta`ala, justru dikotori dengan saling hina, saling menyalahkan
bahkan saling mengkufurkan antara kelompok masyarakat yang lebih memilih shalat
Tarawih sebanyak dua puluh rakaat dengan kelompok masyarakat yang memilih
delapan rakaat saja. Apakah kiranya yang mendorong kedua kelompok ini untuk tidak
pernah berhenti bertikai? Manakah yang lebih berharga bagi mereka antara
persatuan sesama Muslim dibanding sikap arogan, egois, fanatik serta pembelaan
mati-matian terhadap madzhab yang mereka anut? Mengapa toleransi antar umat
beragama yang berbeda lebih mereka perjuangkan daripada persatuan saudara
seagama? Apakah umat non Muslim lebih layak untuk dihormati dan diayomi
dibanding saudara sendiri sesama Muslim?
Sebenarnya kalau mau introspeksi, ada
hal yang jauh lebih penting yang harus mereka perhatikan daripada mengurusi
jumlah rakaat shalat Tarawih orang lain. Yaitu kebiasaan berlomba-lomba untuk
terburu-buru dalam melaksanakan shalat Tarawih serta berbangga diri ketika
shalat Tarawihnya selesai terlebih dahulu. Tidak jarang karena terlalu cepatnya
shalat Tarawih yang mereka lakukan, mengakibatkan sebagian kewajiban tidak
dilaksanakan. Seperti melaksanakan ruku`, i`tidal dan sujud tanpa thuma`ninah
atau membaca al-Fatihah dengan sangat cepat sehingga menggugurkan salah satu
hurufnya atau menggabungkan dua huruf menjadi satu. Dengan begitu, shalat yang
mereka laksanakan menjadi tidak sah, sehingga mereka tidak mendapatkan apa-apa
darinya kecuali rasa capek (tuas kesel : Jawa). Ironisnya mereka tidak mengerti
akan hal itu bahkan membanggakannya, sehingga mereka tidak pernah mengakui
kesalahannya.(29)
Dari itu, waspadalah dan sadarlah
wahai saudara-saudaraku..! Marilah kita bersatu dan saling mengingatkan antara
satu sama lain bi al-hikmah wa al-mau`idzah al-hasanah. Marilah kita laksanakan
shalat Tarawih dan shalat-shalat lainnya dengan benar. Marilah kita laksanakan
shalat dengan khusyu`, khudhur, memenuhi segala syarat dan rukun serta penuh
adab. Jangan biarkan syetan menguasai kita..! karena sesungguhnya syetan tidak
dapat menguasai orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya.
Syetan hanya dapat menguasai orang-orang yang mengasihinya dan orang-orang yang
musyrik. Maka janganlah kita termasuk diantara mereka.
Comments
Post a Comment