Di
kalangan kaum Wahabi ada faham bahwa tauhid terbagi menjadi tiga. Pertama, Tauhid
Rububiyah, yaitu iman kepada Allah sebagai satu-satunya pencipta (al-Khaliq),
penguasa (al-Malik), dan pengatur seluruh makhluk (al-Mudabbir).
Kedua, Tauhid
Uluhiyah, yaitu meyakini bahwa tidak ada Tuhan yang wajib disembah kecuali
Allah.
Dan
ketiga, Tauhid al-Asma wa al-Shifat, yaitu menetapkan nama-nama dan
sifat-sifat Allah yang terdapat dalam al-Qur'an dan hadits, tanpa melakukan ta’thil (penolakan), tahrif (perubahan
dan penyimpangan lafadz dan makna), tamtsil (penyerupaan) dan takyif (menanya
terlalu jauh tentang sifat Allah).
Menyikapi pembagian tauhid ala Wahabi tersebut, Syeikh Salim Alwan al-Hasani ,
Mufti Australia mengatakan, bahwa menurut Ulama Ahlussunnah, pembagian
tauhid menjadi tiga yang dilakukan oleh sebagian orang adalah bid’ah yang
batil dan munkar. Pembagian tersebut tidak ada di dalam al-Qur’an maupun
al-Hadits. Tidak pula dikatakan oleh seorangpun ulama salaf ataupun ulama yang
mu’tabar. Pembagian tersebut hanya dilakukan oleh kelompok musyabbihah zaman
ini (kaum wahabi.red) meskipun mereka mengira bahwa mereka memerangi
bid’ah.
Di dalam majalah Nurul Islam yang di terbitkan oleh Ulama al-Azhar
Mesir (edisi Rabiul Akhir 1352 H), al-Imam Yusuf al-Dijwi al-Azhari mengatakan,
bahwa perkataan mereka bahwa tauhid terbagi menjadi tauhid rububiyah dan tauhid
uluhiyah adalah pembagian yang tidak dikenal oleh seorangpun sebelum Ahmad
ibn Taimiyah dan pembagian (tersebut) adalah pembagian yang tidak masuk akal.
Dalam pembagian tauhid menjadi tiga ala Wahabi di atas, sekilas
memang tidak ada masalah. Karena setiap muslim memang wajib meyakini seluruh
yang terkandung dalam makna ketiga pembagian tersebut. Namun permasalahannya
adalah ketika kita meneliti, ternyata kaum Wahabi mempunyai maksud tertentu
dibalik pembagian tauhid tersebut. Kaum Wahabi mengklasifikasikan tauhid
menjadi tiga bukan tidak ada maksud dan tujuan.
Untuk istilah tauhid rububiyah dan uluhiyah mereka jadikan
kaidah untuk mengkafirkan kaum muslimin yang melakukan tawassul dan tabarruk.
Karena kaum muslimin yang melakukan tawassul dan tabarruk mereka anggap telah
menyembah selain Allah dan ini berarti telah menyalahi yang mereka sebut
sebagai tauhid uluhiyah. Bahkan mereka berani mengatakan bahwa Abu Jahal,
Abu Lahab dan kaum musyrikin lainnya beriman kepada Allah dan ber-tauhid
rububiyah. Mereka sama sekali tidak menyekutukan Allah dalam hal ini . Lebih
parah lagi mereka mengatakan bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab Tauhid-nya lebih
banyak dan keimanannya lebih murni dibandingkan dengan kaum muslimin yang
bertawassul dengan para auliya’ dan shalihin dan memohon syafa’at kepada Allah
sebab mereka. (Lihat kitab Kaifa Nafhamu al Tauhid karangan Muhammad Ahmad
Basyamil, hal: 16).
Bukankah ini pengkafiran terhadap kaum muslimin secara membabi buta? Bukankah
mayoritas kaum muslimin mulai dari zaman Nabi, sahabat, dan salaf yang saleh
sampai sekarang melakukan tawassul dan tabarruk?
Adapun istilah Tauhid al-Asma wa al-Shifat mereka jadikan kaidah
untuk mengkafirkan kaum muslimin yang melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat
mutasyabihat. Mereka menganggap bahwa kaum muslimin yang melakukan ta’wil telah
melakukan ta’thil (penolakan) terhadap shifat-shifat Allah. Karena
mereka mempunyai kaidah “Takwil adalah Ta’thil”. Sementara kita tahu
bahwa barang siapa yang melakukan ta’thil berarti kafir. Jadi menurut
mereka barang siapa yang men-ta’wil ayat-ayat shifat berarti kafir.
Menurut mereka apabila kita menta’wil lafal istawa dalam al-Qur’an
dengan Qahara atau istaula (menguasai) berarti kita telah melakukan ta’thil dan tahrif.
Dan ini berarti menurut mereka, kita adalah kafir. Padahal ta’wil model seperti
ini juga dilakukan oleh sebagian ulama salaf, diantaranya adalah Ibn Jarir
al-Thabari dalam Tafsir-nya.
Klasifikasi tauhid rububiyah dan uluhiyah bertentangan
dengan hadits mutawatir yang diriwayatkan sekelompok sahabat termasuk
didalamnya adalah sepuluh orang yang dijamin masuk surga. Hadits ini
diriwayakan al Bukhari dalam kitab Shahih-nya bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi
bahwasanya tiada tuhan yang wajib disembah melainkan Allah (la ilaha illallah)
dan sesungguhya aku adalah utusan Allah……...”
Dalam hadits ini Rasulullah menganggap cukup akan keislaman seseorang yang
telah mengakui akan keesaan Allah dalam ketuhanan (uluhiyah) dan
mengakui beliau sebagai Rasulullah. Adapun kaum Wahabi mensyaratkan akan
keislaman seseorang tidak hanya dengan pengakuan terhadap tauhid rububiyah saja
tapi harus mengakui juga terhadap tauhid uluhiyah, padahal antara tauhid
rububiyah dan uluhiyah tidak ada bedanya dalam pandangan syara’.
Menurut Imam al-Haddad disebutkan, tauhid uluhiyah masuk dalam
keumuman tauhid rububiyah dengan dalil bahwasanya ketika Allah
mengambil perjanjian (mitsaq) dengan keturunan Nabi Adam, Allah
mengatakan, "Alastu birabbikum (bukankah Aku Tuhan kalian)?" Dalam
hal ini Allah tidak mengatakan, alastu biilahikum, karena Allah menganggap
cukup dengan tauhid rububiyah tersebut dari mereka. Sudah maklum bahwa orang
yang menetapkan ke-rububiyah-an Allah berarti ia juga mengakui akan
ke-uluhiyah-an-Nya. Karena rabb pasti ilah, dan ilah pasti rabb, yaitu
sama-sama bermakna Dzat Yang Wajib Disembah.
Di dalam hadits juga disebutkan bahwa ketika Malaikat Munkar dan Nakir ketika
bertanya kepada orang yang meninggal, mereka berkata, “Man Rabbuka? (siapa
Tuhanmu),” tanpa menambah dengan pertanyaan, “Man ilahuka?". Wallahu
a'lam.
Comments
Post a Comment