Pedidikan Islam itu, setidaknya, bisa
melahirkan dua efek sekaligus; pertama, menangkal radikalisme dan tetapi kedua
sekaligus pendidikan Islam itu bisa melahirkan radikalisme.
contoh, terkait dengan pengajaran
agama di sekolah. Misalnya, apa yang diceritakan oleh guru-guru kita dulu,
ketika masih di bangku kelas 1, 2, atau 3 SD, terkait sîrah (perjalanan
hidup) Rasulullah Saw. Apa kesan kita setelah belajar sîrah Rasul? Nabi itu
hampir seumur hidupnya, kerjaannya hanya perang! Betul, tidak? Nabi hijrah ke
Madinah, istirhat sejenak, lalu memasuki abad ke-2 H terjadi Perang Badar; abad
ke-3 H Perang Uhud; abad ke-4 Perang Khandaq. Sedemikian seterusnya, hingga
Perang Khaibar, Perang Mu’tah, dan lain sebagainya; seolah seluruh kehidupan
Nabi Saw hanya dilalui dengan perang dan perang. Betul, tidak? Bahwa kita dulu
waktu kecil, atau anak-anak yang berskolah sekarang—keponakan kita, misalnya;
kalau membayangkan Nabi, bahwa Nabi itu seorang panglima perang. Dalam sebagian
besar hidupnya, kerjanya perang.
Hanya 10 % dari Kehidupan Nabi untuk
Perang, Ke Mana Sisanya?
Padahal jika kita kalkulasi, karir
kenabian Nabi Muhammad Saw itu kira-kira 23 tahun, atau sepadan dengan kira-kira
8000 hari. Dalam sebuah penelitian, jumlah hari di mana Nabi berperang—mulai
dari persiapan, dan lain sebagainya—disebutkan bahwa jumlah hari yang paling
“boros”, hari yang paling banyak di dalamnya Nabi melakukan peperangan, adalah
800 hari. Jika ini kita terima, artinya total hari peperangan Nabi Muhammad Saw
hanya 10 % dari karir kenabian beliau. Pertanyaannya, yang 90 % digunakan untuk
apa? Sebagian besar dari anak-anak kita,
atau bahkan sebagian besar dari kita, jika ditanya bakal kebingungan; “Apa yang
dilakukan Nabi Saw dalam 90 % kehidupan beliau?”.
Penelitian lain menyebutkan, total
hari yang digunakan Nabi untuk berperang, malah hanya 80 hari ; artinya hanya
1% dari masa karir kenabian beliau. Mungkin ini tanpa melibatkan hari untuk
persiapan perang atau hal-hal teknis lainnya. Jadi, hanya 1% yang digunakan
oleh Nabi Muhammad Saw untuk perang, dari total seluruh masa karir kenabian
beliau. Lalu, yang 99% digunakan Nabi untuk apa?
Inilah poin yang di maksudkan, bahwa
pendidikan Islam bisa menangkal radikalisme, namun sekaligus bisa menjadi
sumber yang melahirkan radikalisme. Anggota dan simpatisan ISIS yang gemar
perang saat ini, salah sumber atau penyebabnya adalah pemahaman yang keliru
terhadap sejarah karir kenabian Nabi Muhammad Saw. Mereka persepsikan Nabi
sebagai ‘tukang perang’. Bagi mereka, seseorang belum dapat dinilai menjadi
Muslim yang baik, jika belum berperang, membunuh, dan menggorok leher orang.
Itulah yang terjadi. Dan coba
tanyakan kepada anak-anak kita : mungkin untuk yang sekolahnya di pesantren,
tidak termasuk, mengingat porsi pelajaran keagamaannya cukup besar, anak-anak
yang kelak, Saudara-Saudari ini akan menjadi guru bagi mereka, yang sekolah di
sekolah-sekolah swasta, atau negeri; tanyakan kepada anak-anak yang keluar dari
kelas 6 SD atau 3 SMP, ternyata mereka berpikiran bahwa kerjaan Nabi itu perang
terus, Sehingga kalau ingin meniru Nabi ya harus perang membunuh orang kafir.
Plus lagi di zaman Khalifah Pertama
terjadi apa yang dinamakan sebagai Perang Riddah, yaitu perang yang dilancarkan
untuk memerangi orang-orang yang konon telah murtad. Kemudian terjadi juga
perang-perang ‘penaklukan’ (futûh). Kalaupun tidak terjadi di masa Khalifah
Pertama, setidaknya mulai masa mulûk ‘raja-raja’, yaitu di era
Dinasti Umayyah, dengan Mu’awiyah sebagai pemimpin pertamanya. Ketika itu
terjadi banyak peperangan. Meskipun umat Islam itu berperang dengan menggunakan
etika, tetapi memang sebagian perang itu dilancarkan dengan motif penaklukan.
Jadi tidak sepenuhnya keliru, meski tak juga tak sepenuhnya benar, jika ada yang mengatakan
bahwa di antara penyebab tersebarnya Islam adalah karena perang. Kalaupun bukan
karena perang, maka motifnya adalah kekuasaan. Non-Muslim harus bayar jizyah,
dianggap sebagai warga negara kelas kedua, maka mereka pun masuk agama Islam yang
kebetulan juga agama ini memang bagus.
Ini satu contoh, bahwa pendidikan
agama Islam itu selain dapat menjadi penangkal, bisa malah menjadi penyebab lahirnya
radikalisme.
Terpaan Budaya Kekerasan
Selain faktor tersebut, saat ini
anak-anak kita banyak diterpa oleh budaya kekerasan, seperti film, main game,
dan lain sebagainya. Ada penelitian yang dikerjakan oleh dua orang eksekutif
Google,Eric Schmidt dan Jared Kohen, The
New Digital Age; Transforming Nations, Businesses, and Our Lives. Kata mereka,
salah satu faktor yang mendorong seseorang menjadi radikal adalah keinginan
untuk melakukan ‘petualangan’ (adventure).
Jihâd Akbar dan Jihâd Ashghar
Ini pula yang seringkali digambarkan
dalam sejarah Islam; masti syahid itu mati karena perang, atau terjadi di
tengah medan perang. Padahal, sebaliknya, Rasulullah Saw itu meninggal bukan
dalam peperangan. Siapa yang berani mengatakan bahwa kematian Rasulullah Saw
itu kurang mulia dibanding matinya orang yang syahid di medan perang?
Selain itu, orang jarang meskipun
sering mengulang-ulang riwayat berikut mau mengingat kejadian ketika Rasulullah
Saw pulang dari Perang Tabuk, ketika para sahabat berkata, “Kita baru saja
pulang dari Perang Besar”. Alih-alih membenarkan, Rasul berkomentar, “(Sebaliknya)
kita baru pulang dari Perang Kecil, menuju Perang Besar”, yakni jihad melawan
hawa nafsu. Dan tidak ada orang yang mati syahid dalam Perang Kecil (Jihâd
Ashghar), sebelum dia menang dalam Jihad Besar (Jihâd Akbar).
Jelas bahwa menundukkan hawa nafsu,
sehingga orang memiliki akhlak yang baik, memiliki jiwa pengorbanan,
mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri (îtsâr);
semua itu lebih mulia dari pada perang. bukan berarti bahwa
perang itu kurang mulia, tapi yang perlu diingat adalah kita sering
mengutip-ngutip soal Jihad Kecil dan Jihad Besar ini, namun pada saat yang
bersamaan sering dimunculkan kesan bahwa orang yang paling mulia itu adalah
mereka yang mati dalam keadaan perang. Kemudian dibuatlah gambar-gambar dengan
efek seolah mereka yang mati dalam peperangan itu, mati dalam keadaan
tersenyum. Saya tidak ingat, apa ada riwayat bahwa Nabi Saw itu meninggal dalam
keadaan tersenyum? Apakah dengan demikian orang mati di medan perang itu lebih
mulia dari Rasulullah Saw?!
Ini semua sekedar contoh awal, betapa
pendidikan agama Islam bisa menjadi sumber radikalisme dalam beragama.
Begitulah gambaran yang muncul; jika belum mencaci-maki orang, belum
mengkafirkan, belum menyesatkan paham orang lain, maka Islamnya dianggap belum
kuat.
Kita Lupa Evaluasi Diri
Ada seorang tokoh yang mengucapkan,
“Alhamdulillâh”, saat ia mendengar ada masjid pertama dibangun di Alaska;
seolah penduduk sana lebih buruk dari kita, sehingga ketika dibangun masjid,
ada peluang mereka menjadi lebih baik.
“Kita—orang Muslim—‘obsessed’ untuk
mengislamkan orang lain, seakan Islam kita sudah betul dan kita sudah jadi
orang baik. Jangan-jangan orang lain malah lebih baik dari kita?”.
Kita sering lupa mengevaluasi, sebetulnya
kita sudah jadi orang baik apa belum?
Jangan-jangan mereka yang akan kita islamkan itu, yang kita anggap kafir,
ternyata malah lebih baik dari kita?
Tentang Kufur
Tidak ada hubungannya dengan
keislaman atau bukan, Kufur itu tidak hanya berlaku untuk non-Muslim, bahkan
untuk Muslim sendiri, terlebih lagi kufur itu ada tiga tingkatan. Kafir itu
adalah orang yang tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya.
Di dalam Al-Quran, kata kuffâr juga digunakan untuk menyebut ‘petani’,
karena mereka menanam benih dengan cara menggali terlebih dahulu, lalu menanam
benih dan menutupinya (ka-fa-ra) dengan tanah. Itulah alasan kenapa petani
disebut kuffâr.
belum ada bukti sama sekali bahwa
non-Muslim itu identik dengan kafir. Dan kekafiran itu kategori mora bukan kategori teologis. Orang jahat itu
kafir. Orang baik, meskipun non-Muslim, belum tentu kafir. Sebaliknya, orang
Muslim belum tentu tidak kafir. Ini perlu di lontarkan supaya kita memiliki
kesiapan untuk merenungkan kembali pemahaman kita tentang Islam; perang,
mengkafirkan, menyesatkan, menganggap diri lebih baik dari orang lain, menilai
mereka jahat, Islamnya tidak baik, dan sebagainya. Inilah sumber-sumber paham
radikalisme.
Menuju Eros Oriented Religion
Jika pendidikan Islam hendak
menangkal radikalisme paham keagamaan, maka paradigma dan cara pandang
keagamaan kita harus diubah total. Dalam fenomenologi agama, para ahli
memetakan agama-agama yang ada di dunia ini ke dalam dua kelompok. Pertama, nomos
oriented religion ataulaw oriented religion, yaitu agama yang berorientasi
pada hukum (nomos). Kedua, eros oriented religion atau love
oriented religion, yaitu agama dengan prioritas dan berorientasi pada cinta.
Dalam buku-buku fenomenologi Barat,
dengan segera akan kita temukan agama-agama Hindu, Buda, Kristen, Taoisme, dan
agama-agama Timur, dikelompokkan ke dalam eros oriented religion.
Sedangkan Islam dan Yahudi masuk ke dalam nomos oriented religion. Inilah
yang terjadi, dan—sayangnya—ini keliru.
Sialnya, kekeliruan ini bukan semata
dilakukan oleh fenomenolog Barat—meskipun belakangan mereka menarik dan
mengoreksi penilaian ini, seperti Robert Heiler, Annemarie
Schimmel, yang kemudian menggolongkan Islam ke dalam eros oriented
religion—namun juga diperkuat oleh fakta bahwa umat Islam sendiri terpetakan,
paling tidak, ke dalam dua kelompok; ekslusif dan inklusif.
Mari kita uji, apakah benar pandangan
yang menyebut Islam sebagai agama yang berorientasi hukum, dan bukan
berorientasi cinta?
Kita awali dari Allah Swt. Imam
Ja’far Shadiq mengatakan, “Allah adalah Cinta.” Di dalam Al-Quran, ada yang
disebut Al-Asmâ’ al-Husnâ (Nama-nama Allah yang Baik), yang menurut mainstream
berjumlah 99—betapapun sebetulnya ini hanyalah konvensi di antara ulama.
Sebagian menyatakan, ada 101; dan menurut Ibn ‘Arabi ada 300 lebih. Kita
sepakati saja bilangan 99.
Di dalam tradisi tasawuf, Nama-nama
Allah itu dipetakan ke dalam dua kategori; jalâliyah dan jamâliyah.
Di dalam tradisi hermeneutika Kristen, ini sepadan dengan mysterium
tremendum et fascinas.
Ada kisah, suatu ketika Annemarie
Schimmel tengah menyampaikan kuliah di Turki. Ia eksplorasi teorinya Rudolf Otto, seorang hermeneut Kristen asal Jerman, yang
mengatakan Allah adalah mysterium tremendum et fascinans. (Dalam tradisi
tasawuf, mysterium ini sepadan dengan ghayb al-ghuyûb; tremendum sepadan
dengan jalâliyah, sifat dahsyat Allah yang membuat orang menjadi taat
karena takut; fascinans sepadan dengan jamâliyah, sifat cinta
Allah yang membuat orang terpesona dan ingin dekat dengan-Nya.)
Setelah bicara panjang lebar, ketika
sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa interupsi. “Profesor, maaf, di dalam Islam
ini sudah sangat lama diajarkan. Kaum sufi sudah mengatakan bahwa Allah
memiliki dua kelompok sifat, yaitu jalâliyah (tremendum) dan jamâliyah (fascinans).”
Sifat Jamâliyah Allah Jauh Lebih
Banyak
Sebuah penelitian dilakukan untuk
memilah Al-Asma’ al-Husnâ ke dalam dua kategori di atas, ternyata,
temuannya mengejutkan. Didapati ada lima kali lebih banyak ayat-ayat Al-Quran
yang menyebutkan sifat jamâliyah Allah, dibanding sifat jalâliyah-Nya. Al-Qahhâr, Al-Jabbâr, Al-Mutakabbir, Al-Muntaqim dan
lain sebagainya, termasuk sifat jalâliyah. Sebaliknya, Al-Rahmân, Al-Rahîm, Al-Ghafûr, Al-Wadûd, Al-Syakûr,
dan lain sebagainya, termasuk sifat jamâliyah.
Nah, tentang Diri Allah, adakah yang
lebih tahu dari Allah sendiri? Allah menampilkan citra Diri-Nya di dalam
Al-Quran, lima kali lebih banyak, sebagai Dzat yang Maha Cinta, ketimbang Dzat
yang Maha Keras.
Terkait sifat ‘Al-Muntaqim’ sendiri,
sesungguhnya masih diperdebatkan, karena di dalam Al-Quran tidak ada kata ‘Al-Muntaqim’;
yang termaktub adalah Dzû intiqâm, kemudian diubah-suaikan oleh ulama
menjadi ‘Al-Muntaqim’, mengingat nama-nama Allah lainnya mucul dalam bentuk
subjek (fâ’il), tetapi Dzû intiqâm ini muncul dalam bentuk relasional
(idhâfah). Ini berbeda dengan istilah yang dipakai oleh Al-Quran sendiri.
Jika dibandingkan, ayat yang menyebut
sifat Dzû intiqâm (Pembalas) hanya satu ayat saja. Sebaliknya, ayat
yang menyebut sifat-sifat seperti Rahmân, Rahîm, Ghafûr, dan
sifat-sifat jamâliyahlainnya, ada ratusan. Namun, yang dimunculkan dalam
khutbah-khutbah Jumat ataupun pendidikan Islam tingkat dasar, sungguh sangat
berseberangan dengan fakta ini. Betapa sering Allah digambarkan sebagai Pemarah
yang garang, atau Tuhan yang melempar hamba-hamba-Nya ke neraka.
Pada waktu tahun pertama di Lazuardi,
kita pernah buat pesantren kilat. Sebagai Ketua Yayasan, saya bersama istri
saya, pernah mengunjungi anak kami saat menginap di sana, untuk kepentingan
kontrol. Betapa kaget, saat kami dapati pembina asrama memutarkan film kepada
anak-anak tentang orang mati yang tubuhnya dimakan ulat dan berbagai gambaran
kengerian serupa. Bahkan, usai shalat jamaah, sang imam membacakan doa, “Ya
Allah, ampunilah dosa-dosa kami yang sedemikian banyak…” dengan ratapan
sedemikian rupa.
Saya panggil pembina asrama ini untuk
saya tegur. “Untuk apa berdoa seperti itu? Apa dosa anak-anak ini? Mereka ini
masih kecil dan jauh dari berbuat dosa. Kalau mau berdoa seperti itu, silahkan
berdoa sendiri, dan jangan libatkan anak-anak!”
Ini merupakan contoh pendidikan yang
keliru. Perlu digarisbawahi juga, dalam proses pendidikan awal, jangan
mengajarkan kepada anak-anak kecil tentang sifat-sifat jalâliyah Allah.
Ini keliru. Sama seperti anak di usia TK sampai kelas 3 SD, adalah salah untuk
mengajarkan kedisiplinan kepada mereka. Sebagai pendidik, kita musti tahu, mana
pendidikan yang sesuai dengan tahap perkembangan psikologis mereka.
Yang diprioritaskan mestinya adalah
pengajaran sifat jamâliyah Allah. Andaipun terpaksa harus menjelaskan
soal sifat jalâliyah Allah, harus tetap kita tekankan prinsip yang
ditegaskan oleh Allah sendiri, bahwa “Kasih-sayang-Ku mengatasi segala sesuatu”
(rahmatî wasi’at kulla syaî). Artinya, bahwa murka Allah itu takluk dan tunduk
kepada kasih-sayang-Nya. Allah marah dan menghukum hamba-hamba (yang
membangkang), semata karena kasih-sayang Allah kepada mereka. Dalam Hadis
Qudsi, “Kasih-sayang-Ku mendahului murka-Ku” (sabaqat rahmatî ghadhabî), atau
dalam versi lain, “Kasih-sayang-Ku mengalahkan murka-Ku” (ghalabat rahmatî
ghadhabî). Persis seperti seorang ibu yang marah kepada anaknya yang salah,
pastilah kaena didorong oleh rasa kasih sayangnya.
Wasiat Imam Khomeini
Begitu juga, ketika kita marah karena
melihat hukum-hukum Allah dilanggar, maka marah-nya kita harus berangkat dari
prinsip kasih sayang ini, bukan karena benci kepada pelakunya. Imam Khomeini,
dalam wasiatnya kepada Sayyid Ahmad—anak beliau—berkata:
“Jika engkau menghukum orang jahat,
hendaknya engkau menghukumnya karena kasih-sayangmu kepadanya.”
Jika menimpakan hukuman mati atas
seseorang, juga harus berdasakan prinsip kasih-sayang, selain untuk
menyelamatkan masyarakat dari kejahatannya. Kita pun harus mendoakannya agar
dosa-dosanya diampuni Allah.
Dalam etika perang dalam Islam, kita
tidak boleh membunuh musuh karena didorong rasa benci; sebaliknya, harus karena
rasa kasih-sayang kepadanya. Inilah yang diajarkan oleh Nabi Saw, “Berakhlak-lah
kalian dengan akhlak Allah.”
Syaikhul Akbar Ibn ‘Arabi
mengajarkan, ayat Al-Quran yang paling utama, yang menjadi pembuka keseluruhan
surah—kecuali surah Al-Taubah, namun tetap muncul bacaan serupa di dalamnya;
yang dalam setiap tindakannya tiap-tiap Muslim diajarkan untuk membacanya,
adalah bismilLâhir-Rahmânir-Rahîm. Kata Ibn ‘Arabi, “Allah” adalah al-ism
al-jâmi’, yaitu Nama yang menghimpun seluruh sifat-sifat Allah lainnya. Seluruh asmâ’ dan shifât Allah
terangkum di dalam kata “Allah” ini. Lalu, bagaimakah Allah mengajarkan
sifat-sifat Diri-Nya? Rahmân dan Rahîm! Jadi, tidak cukup dengan
atribusi Rahmân saja, bahkan Allah mempertegas lagi dengan Rahîm.
Jadi, bisa dikatakan bahwa Rahmân dan Rahîm adalah
“perasan” dari sifat-sifat Allah lainnya.
Meneladani Rasulullah Saw
Allah menyifati Nabi Muhammad Saw,
dengan penegasan sedemikian rupa, sebagai,
“Sungguh Engkau (Muhammad) berada di
atas budi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4).
Suatu ketika, seseorang pernah
berkata kepada Imama ‘Ali as,
“Tolong gambarkan kepadaku budi
pekerti Rasulullah.”, tanya dia.
“Bisakah Anda jelaskan dulu kepadaku,
keajaiban dan kedahsyatan alam semesta ini?”, timpal Imam.
“Ah, tak mungkin. Alam ini terlalu
luas dan agung!”, jawabnya.
“Bagaimana mungkin Aku dapat
menggambarkan budi pekerti Rasulullah, yang Allah puji dalam Kitab-Nya sebagai
bersifat ‘agung’ (‘azhîm); padahal dunia saja yang tak mampu Engkau lukiskan
itu Allah gambarkan sebagai sesuatu yang ‘kecil’ (qalîl)?”, jawab Imam menyusul.
Dalam proses pendidikan Islam,
harusnya Rasulullah-lah yang dijadikan poros keteladanan, sumber inspirasi.
Sifat kasih Rasul, kesantunan dan rasa malunya yang begitu tinggi; ini semua
harusnya dijadikan prioritas pengajaran.
Di dalam riwayat digambarkan, para
sahabat pernah bertamu ke kediaman Nabi Saw hingga larut malam. Tetapi Nabi
sangat malu untuk mengingatkan mereka agar segera pulang. Sampai akhirnya Nabi
keluar berjalan-jalan, dan ketika kembali, ternyata mereka masih di rumah Nabi.
Allah pun turunkan,
“Wahai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk
makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu
diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa
memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi.
Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu
menerangkan yang benar.” (Al-Azab: 53).
Tanpa mengurangi rasa hormat yang
setinggi-tingginya kepada Sayidina ‘Umar, adalah keliru jika kita lebih bangga
mengisahkan cerita-cerita tentang sifat keras dan tegasnya, tetapi pada saat
yang sama justru ‘menenggelamkan’ dan menomor-duakan sifat santun Rasulullah
Saw. Sebagai contoh, dalam riwayat disebutkan, Rasulullah pernah berpapasan
dengan seorang perempuan tua yang mahir bermain musik. Rasul menyambutnya
dengan senyuman. Namun, tiba-tiba wanita itu langsung lari saat melihat sahabat
‘Umar datang yang dikenal berperangai keras. Dengan nada santai, Rasul berkata,
“Sayang sekali, ‘Umar, padahal wanita tua tadi mau memainkan musik, tetapi
buru-buru lari karena takut kepadamu.” Dalam riwayat juga disebutkan, Sayidina
‘Umar pernah menawarkan diri kepada Rasulullah Saw untuk menebas leher orang
Yahudi, yang bertindak tak sopan dan memaki-maki Rasulullah karena persoalan
hutang. Alih-alih mengiyakan, Rasul
berkata, “Jangan, ‘Umar! Ingatkan saja dia agar lebih santun dalam menagih
hutang.”
Keteladanan semacam inilah yang
harusnya disampaikan. Namun yang terjadi malah sebaliknya, termasuk yang sering
kita dengar dari mimbar-mimbar masjid. Jika kemudian lahir generasi Muslim
radikalis-ekstremis, sedikit-banyak hal itu memang disebabkan oleh pendidikan
Islam yang keliru sejak tingkat dasar, di samping kekeliruan paradigma dalam
membaca sejarah dan menokohkan seseorang.
Sekali lagi, Allah Maha Cinta!
Di dalam Hadis Qudsi yang populer
dalam tradisi tasawuf, Allah berkata:
“Aku sebelumnya (bukan dalam arti
waktu serial)adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku rindu untuk
dikenali, maka Aku ciptakan makhluk, supaya Aku dikenali.”
Sebagai Pecinta dan Maha Cinta, Allah
‘butuh’ obyek untuk melimpahkan cinta-Nya. Dengan kata lain, Allah “sangat
ingin” mencintai. Luapan cinta Allah ini kemudian mewujud dalam bentuk
kebaikan-kebaikan yang mengambil bentuk alam semesta. Dari proses emanasi
inilah mengada segala yang ada. Jadi, sudah terlalu melimpah doktrin dalam
Islam yang mengajarkan tentang cinta dan kasih-sayang.
Bagaimana Mendidik Anak?
Untuk para guru dan orang tua,
sedapat mungkin lakukan dua hal berikut untuk anak-anak kita di tingkat dasar,
demi membendung arus dan pengaruh paham-paham radikal dan ekstrim dalam Islam.
Pertama, tunjukkan kasih sayang
kepadanya. Rasa kasih sayang hanya akan tumbuh di dalam diri seorang anak, jika
dia yakin merasa disayangi oleh orang lain.
Kedua, ajarkan Islam kepada mereka
sebagai agama kasih sayang. Tak ada jalan lain, kecuali mengubah paradigma kita
tentang Islam dari nomos oriented religion menuju eros oriented
religion.
Comments
Post a Comment