Skip to main content

SUDAHKAH BENAR CARA KITA MEMNGENALKAN ISLAM

Pedidikan Islam itu, setidaknya, bisa melahirkan dua efek sekaligus; pertama, menangkal radikalisme dan tetapi kedua sekaligus pendidikan Islam itu bisa melahirkan radikalisme.
contoh, terkait dengan pengajaran agama di sekolah. Misalnya, apa yang diceritakan oleh guru-guru kita dulu, ketika masih di bangku kelas 1, 2, atau 3 SD, terkait sîrah (perjalanan hidup) Rasulullah Saw. Apa kesan kita setelah belajar sîrah Rasul? Nabi itu hampir seumur hidupnya, kerjaannya hanya perang! Betul, tidak? Nabi hijrah ke Madinah, istirhat sejenak, lalu memasuki abad ke-2 H terjadi Perang Badar; abad ke-3 H Perang Uhud; abad ke-4 Perang Khandaq. Sedemikian seterusnya, hingga Perang Khaibar, Perang Mu’tah, dan lain sebagainya; seolah seluruh kehidupan Nabi Saw hanya dilalui dengan perang dan perang. Betul, tidak? Bahwa kita dulu waktu kecil, atau anak-anak yang berskolah sekarang—keponakan kita, misalnya; kalau membayangkan Nabi, bahwa Nabi itu seorang panglima perang. Dalam sebagian besar hidupnya, kerjanya perang.
Hanya 10 % dari Kehidupan Nabi untuk Perang, Ke Mana Sisanya?

Padahal jika kita kalkulasi, karir kenabian Nabi Muhammad Saw itu kira-kira 23 tahun, atau sepadan dengan kira-kira 8000 hari. Dalam sebuah penelitian, jumlah hari di mana Nabi berperang—mulai dari persiapan, dan lain sebagainya—disebutkan bahwa jumlah hari yang paling “boros”, hari yang paling banyak di dalamnya Nabi melakukan peperangan, adalah 800 hari. Jika ini kita terima, artinya total hari peperangan Nabi Muhammad Saw hanya 10 % dari karir kenabian beliau. Pertanyaannya, yang 90 % digunakan untuk apa?  Sebagian besar dari anak-anak kita, atau bahkan sebagian besar dari kita, jika ditanya bakal kebingungan; “Apa yang dilakukan Nabi Saw dalam 90 % kehidupan beliau?”.
Penelitian lain menyebutkan, total hari yang digunakan Nabi untuk berperang, malah hanya 80 hari ; artinya hanya 1% dari masa karir kenabian beliau. Mungkin ini tanpa melibatkan hari untuk persiapan perang atau hal-hal teknis lainnya. Jadi, hanya 1% yang digunakan oleh Nabi Muhammad Saw untuk perang, dari total seluruh masa karir kenabian beliau. Lalu, yang 99% digunakan Nabi untuk apa?
Inilah poin yang di maksudkan, bahwa pendidikan Islam bisa menangkal radikalisme, namun sekaligus bisa menjadi sumber yang melahirkan radikalisme. Anggota dan simpatisan ISIS yang gemar perang saat ini, salah sumber atau penyebabnya adalah pemahaman yang keliru terhadap sejarah karir kenabian Nabi Muhammad Saw. Mereka persepsikan Nabi sebagai ‘tukang perang’. Bagi mereka, seseorang belum dapat dinilai menjadi Muslim yang baik, jika belum berperang, membunuh, dan menggorok leher orang.
Itulah yang terjadi. Dan   coba tanyakan kepada anak-anak kita : mungkin untuk yang sekolahnya di pesantren, tidak termasuk, mengingat porsi pelajaran keagamaannya cukup besar, anak-anak yang kelak, Saudara-Saudari ini akan menjadi guru bagi mereka, yang sekolah di sekolah-sekolah swasta, atau negeri;   tanyakan kepada anak-anak yang keluar dari kelas 6 SD atau 3 SMP, ternyata mereka berpikiran bahwa kerjaan Nabi itu perang terus, Sehingga kalau ingin meniru Nabi ya harus perang membunuh orang kafir.
Plus lagi di zaman Khalifah Pertama terjadi apa yang dinamakan sebagai Perang Riddah, yaitu perang yang dilancarkan untuk memerangi orang-orang yang konon telah murtad. Kemudian terjadi juga perang-perang ‘penaklukan’ (futûh). Kalaupun tidak terjadi di masa Khalifah Pertama, setidaknya mulai masa mulûk ‘raja-raja’, yaitu di era Dinasti Umayyah, dengan Mu’awiyah sebagai pemimpin pertamanya. Ketika itu terjadi banyak peperangan. Meskipun umat Islam itu berperang dengan menggunakan etika, tetapi memang sebagian perang itu dilancarkan dengan motif penaklukan. Jadi tidak sepenuhnya keliru, meski tak juga tak  sepenuhnya benar, jika ada yang mengatakan bahwa di antara penyebab tersebarnya Islam adalah karena perang. Kalaupun bukan karena perang, maka motifnya adalah kekuasaan. Non-Muslim harus bayar jizyah, dianggap sebagai warga negara kelas kedua, maka mereka pun masuk agama Islam yang kebetulan juga agama ini memang bagus.
Ini satu contoh, bahwa pendidikan agama Islam itu selain dapat menjadi penangkal, bisa malah menjadi penyebab lahirnya radikalisme.

Terpaan Budaya Kekerasan
Selain faktor tersebut, saat ini anak-anak kita banyak diterpa oleh budaya kekerasan, seperti film, main game, dan lain sebagainya. Ada penelitian yang dikerjakan oleh dua orang eksekutif Google,Eric Schmidt dan Jared Kohen, The New Digital Age; Transforming Nations, Businesses, and Our Lives. Kata mereka, salah satu faktor yang mendorong seseorang menjadi radikal adalah keinginan untuk melakukan ‘petualangan’ (adventure).

Jihâd Akbar dan Jihâd Ashghar
Ini pula yang seringkali digambarkan dalam sejarah Islam; masti syahid itu mati karena perang, atau terjadi di tengah medan perang. Padahal, sebaliknya, Rasulullah Saw itu meninggal bukan dalam peperangan. Siapa yang berani mengatakan bahwa kematian Rasulullah Saw itu kurang mulia dibanding matinya orang yang syahid di medan perang?
Selain itu, orang jarang meskipun sering mengulang-ulang riwayat berikut mau mengingat kejadian ketika Rasulullah Saw pulang dari Perang Tabuk, ketika para sahabat berkata, “Kita baru saja pulang dari Perang Besar”. Alih-alih membenarkan, Rasul berkomentar, “(Sebaliknya) kita baru pulang dari Perang Kecil, menuju Perang Besar”, yakni jihad melawan hawa nafsu. Dan tidak ada orang yang mati syahid dalam Perang Kecil (Jihâd Ashghar), sebelum dia menang dalam Jihad Besar (Jihâd Akbar).
Jelas bahwa menundukkan hawa nafsu, sehingga orang memiliki akhlak yang baik, memiliki jiwa pengorbanan, mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri (îtsâr); semua itu lebih mulia dari pada perang. bukan berarti   bahwa perang itu kurang mulia, tapi yang perlu diingat adalah kita sering mengutip-ngutip soal Jihad Kecil dan Jihad Besar ini, namun pada saat yang bersamaan sering dimunculkan kesan bahwa orang yang paling mulia itu adalah mereka yang mati dalam keadaan perang. Kemudian dibuatlah gambar-gambar dengan efek seolah mereka yang mati dalam peperangan itu, mati dalam keadaan tersenyum. Saya tidak ingat, apa ada riwayat bahwa Nabi Saw itu meninggal dalam keadaan tersenyum? Apakah dengan demikian orang mati di medan perang itu lebih mulia dari Rasulullah Saw?!
Ini semua sekedar contoh awal, betapa pendidikan agama Islam bisa menjadi sumber radikalisme dalam beragama. Begitulah gambaran yang muncul; jika belum mencaci-maki orang, belum mengkafirkan, belum menyesatkan paham orang lain, maka Islamnya dianggap belum kuat.
Kita Lupa Evaluasi Diri
Ada seorang tokoh yang mengucapkan, “Alhamdulillâh”, saat ia mendengar ada masjid pertama dibangun di Alaska; seolah penduduk sana lebih buruk dari kita, sehingga ketika dibangun masjid, ada peluang mereka menjadi lebih baik.  
“Kita—orang Muslim—‘obsessed’ untuk mengislamkan orang lain, seakan Islam kita sudah betul dan kita sudah jadi orang baik. Jangan-jangan orang lain malah lebih baik dari kita?”.
Kita sering lupa mengevaluasi, sebetulnya kita sudah jadi orang  baik apa belum? Jangan-jangan mereka yang akan kita islamkan itu, yang kita anggap kafir, ternyata malah lebih baik dari kita?

Tentang Kufur
Tidak ada hubungannya dengan keislaman atau bukan, Kufur itu tidak hanya berlaku untuk non-Muslim, bahkan untuk Muslim sendiri, terlebih lagi kufur itu ada tiga tingkatan. Kafir itu adalah orang yang tidak konsisten dalam mengikuti kebenaran yang diyakininya. Di dalam Al-Quran, kata kuffâr juga digunakan untuk menyebut ‘petani’, karena mereka menanam benih dengan cara menggali terlebih dahulu, lalu menanam benih dan menutupinya (ka-fa-ra) dengan tanah. Itulah alasan kenapa petani disebut kuffâr.
belum ada bukti sama sekali bahwa non-Muslim itu identik dengan kafir. Dan kekafiran itu kategori mora  bukan kategori teologis. Orang jahat itu kafir. Orang baik, meskipun non-Muslim, belum tentu kafir. Sebaliknya, orang Muslim belum tentu tidak kafir. Ini perlu di lontarkan supaya kita memiliki kesiapan untuk merenungkan kembali pemahaman kita tentang Islam; perang, mengkafirkan, menyesatkan, menganggap diri lebih baik dari orang lain, menilai mereka jahat, Islamnya tidak baik, dan sebagainya. Inilah sumber-sumber paham radikalisme.

Menuju Eros Oriented Religion
Jika pendidikan Islam hendak menangkal radikalisme paham keagamaan, maka paradigma dan cara pandang keagamaan kita harus diubah total. Dalam fenomenologi agama, para ahli memetakan agama-agama yang ada di dunia ini ke dalam dua kelompok. Pertama, nomos oriented religion ataulaw oriented religion, yaitu agama yang berorientasi pada hukum (nomos). Kedua, eros oriented religion atau love oriented religion, yaitu agama dengan prioritas dan berorientasi pada cinta.
Dalam buku-buku fenomenologi Barat, dengan segera akan kita temukan agama-agama Hindu, Buda, Kristen, Taoisme, dan agama-agama Timur, dikelompokkan ke dalam eros oriented religion. Sedangkan Islam dan Yahudi masuk ke dalam nomos oriented religion. Inilah yang terjadi, dan—sayangnya—ini keliru.
Sialnya, kekeliruan ini bukan semata dilakukan oleh fenomenolog Barat—meskipun belakangan mereka menarik dan mengoreksi penilaian ini, seperti Robert Heiler, Annemarie Schimmel, yang kemudian menggolongkan Islam ke dalam eros oriented religion—namun juga diperkuat oleh fakta bahwa umat Islam sendiri terpetakan, paling tidak, ke dalam dua kelompok; ekslusif dan inklusif.
Mari kita uji, apakah benar pandangan yang menyebut Islam sebagai agama yang berorientasi hukum, dan bukan berorientasi cinta?
Kita awali dari Allah Swt. Imam Ja’far Shadiq mengatakan, “Allah adalah Cinta.” Di dalam Al-Quran, ada yang disebut Al-Asmâ’ al-Husnâ (Nama-nama Allah yang Baik), yang menurut mainstream berjumlah 99—betapapun sebetulnya ini hanyalah konvensi di antara ulama. Sebagian menyatakan, ada 101; dan menurut Ibn ‘Arabi ada 300 lebih. Kita sepakati saja bilangan 99.
Di dalam tradisi tasawuf, Nama-nama Allah itu dipetakan ke dalam dua kategori; jalâliyah dan jamâliyah. Di dalam tradisi hermeneutika Kristen, ini sepadan dengan mysterium tremendum et fascinas.
Ada kisah, suatu ketika Annemarie Schimmel tengah menyampaikan kuliah di Turki. Ia eksplorasi teorinya Rudolf Otto, seorang hermeneut Kristen asal Jerman, yang mengatakan Allah adalah mysterium tremendum et fascinans. (Dalam tradisi tasawuf, mysterium ini sepadan dengan ghayb al-ghuyûb; tremendum sepadan dengan jalâliyah, sifat dahsyat Allah yang membuat orang menjadi taat karena takut;  fascinans sepadan dengan jamâliyah, sifat cinta Allah yang membuat orang terpesona dan ingin dekat dengan-Nya.)
Setelah bicara panjang lebar, ketika sesi tanya-jawab, seorang mahasiswa interupsi. “Profesor, maaf, di dalam Islam ini sudah sangat lama diajarkan. Kaum sufi sudah mengatakan bahwa Allah memiliki dua kelompok sifat, yaitu jalâliyah (tremendum) dan jamâliyah (fascinans).”

Sifat Jamâliyah Allah Jauh Lebih Banyak
Sebuah penelitian dilakukan untuk memilah Al-Asma’ al-Husnâ ke dalam dua kategori di atas, ternyata, temuannya mengejutkan. Didapati ada lima kali lebih banyak ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan sifat jamâliyah Allah, dibanding sifat jalâliyah-Nya. Al-Qahhâr, Al-Jabbâr, Al-Mutakabbir, Al-Muntaqim dan lain sebagainya, termasuk sifat jalâliyah. Sebaliknya, Al-Rahmân, Al-Rahîm, Al-Ghafûr, Al-Wadûd, Al-Syakûr, dan lain sebagainya, termasuk sifat jamâliyah.
Nah, tentang Diri Allah, adakah yang lebih tahu dari Allah sendiri? Allah menampilkan citra Diri-Nya di dalam Al-Quran, lima kali lebih banyak, sebagai Dzat yang Maha Cinta, ketimbang Dzat yang Maha Keras.
Terkait sifat ‘Al-Muntaqim’ sendiri, sesungguhnya masih diperdebatkan, karena di dalam Al-Quran tidak ada kata ‘Al-Muntaqim’; yang termaktub adalah Dzû intiqâm, kemudian diubah-suaikan oleh ulama menjadi ‘Al-Muntaqim’, mengingat nama-nama Allah lainnya mucul dalam bentuk subjek (fâ’il), tetapi Dzû intiqâm ini muncul dalam bentuk relasional (idhâfah). Ini berbeda dengan istilah yang dipakai oleh Al-Quran sendiri.
Jika dibandingkan, ayat yang menyebut sifat Dzû intiqâm (Pembalas) hanya satu ayat saja. Sebaliknya, ayat yang menyebut sifat-sifat seperti Rahmân, Rahîm, Ghafûr, dan sifat-sifat jamâliyahlainnya, ada ratusan. Namun, yang dimunculkan dalam khutbah-khutbah Jumat ataupun pendidikan Islam tingkat dasar, sungguh sangat berseberangan dengan fakta ini. Betapa sering Allah digambarkan sebagai Pemarah yang garang, atau Tuhan yang melempar hamba-hamba-Nya ke neraka.
Pada waktu tahun pertama di Lazuardi, kita pernah buat pesantren kilat. Sebagai Ketua Yayasan, saya bersama istri saya, pernah mengunjungi anak kami saat menginap di sana, untuk kepentingan kontrol. Betapa kaget, saat kami dapati pembina asrama memutarkan film kepada anak-anak tentang orang mati yang tubuhnya dimakan ulat dan berbagai gambaran kengerian serupa. Bahkan, usai shalat jamaah, sang imam membacakan doa, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami yang sedemikian banyak…” dengan ratapan sedemikian rupa.
Saya panggil pembina asrama ini untuk saya tegur. “Untuk apa berdoa seperti itu? Apa dosa anak-anak ini? Mereka ini masih kecil dan jauh dari berbuat dosa. Kalau mau berdoa seperti itu, silahkan berdoa sendiri, dan jangan libatkan anak-anak!”
Ini merupakan contoh pendidikan yang keliru. Perlu digarisbawahi juga, dalam proses pendidikan awal, jangan mengajarkan kepada anak-anak kecil tentang sifat-sifat jalâliyah Allah. Ini keliru. Sama seperti anak di usia TK sampai kelas 3 SD, adalah salah untuk mengajarkan kedisiplinan kepada mereka. Sebagai pendidik, kita musti tahu, mana pendidikan yang sesuai dengan tahap perkembangan psikologis mereka.
Yang diprioritaskan mestinya adalah pengajaran sifat jamâliyah Allah. Andaipun terpaksa harus menjelaskan soal sifat jalâliyah Allah, harus tetap kita tekankan prinsip yang ditegaskan oleh Allah sendiri, bahwa “Kasih-sayang-Ku mengatasi segala sesuatu” (rahmatî wasi’at kulla syaî). Artinya, bahwa murka Allah itu takluk dan tunduk kepada kasih-sayang-Nya. Allah marah dan menghukum hamba-hamba (yang membangkang), semata karena kasih-sayang Allah kepada mereka. Dalam Hadis Qudsi, “Kasih-sayang-Ku mendahului murka-Ku” (sabaqat rahmatî ghadhabî), atau dalam versi lain, “Kasih-sayang-Ku mengalahkan murka-Ku” (ghalabat rahmatî ghadhabî). Persis seperti seorang ibu yang marah kepada anaknya yang salah, pastilah kaena didorong oleh rasa kasih sayangnya.

Wasiat Imam Khomeini
Begitu juga, ketika kita marah karena melihat hukum-hukum Allah dilanggar, maka marah-nya kita harus berangkat dari prinsip kasih sayang ini, bukan karena benci kepada pelakunya. Imam Khomeini, dalam wasiatnya kepada Sayyid Ahmad—anak beliau—berkata:
“Jika engkau menghukum orang jahat, hendaknya engkau menghukumnya karena kasih-sayangmu kepadanya.”
Jika menimpakan hukuman mati atas seseorang, juga harus berdasakan prinsip kasih-sayang, selain untuk menyelamatkan masyarakat dari kejahatannya. Kita pun harus mendoakannya agar dosa-dosanya diampuni Allah.
Dalam etika perang dalam Islam, kita tidak boleh membunuh musuh karena didorong rasa benci; sebaliknya, harus karena rasa kasih-sayang kepadanya. Inilah yang diajarkan oleh Nabi Saw, “Berakhlak-lah kalian dengan akhlak Allah.”
Syaikhul Akbar Ibn ‘Arabi mengajarkan, ayat Al-Quran yang paling utama, yang menjadi pembuka keseluruhan surah—kecuali surah Al-Taubah, namun tetap muncul bacaan serupa di dalamnya; yang dalam setiap tindakannya tiap-tiap Muslim diajarkan untuk membacanya, adalah bismilLâhir-Rahmânir-Rahîm. Kata Ibn ‘Arabi, “Allah” adalah al-ism al-jâmi’, yaitu Nama yang menghimpun seluruh sifat-sifat Allah lainnya. Seluruh asmâ’ dan shifât Allah terangkum di dalam kata “Allah” ini. Lalu, bagaimakah Allah mengajarkan sifat-sifat Diri-Nya? Rahmân dan Rahîm! Jadi, tidak cukup dengan atribusi Rahmân saja, bahkan Allah mempertegas lagi dengan Rahîm. Jadi, bisa dikatakan bahwa Rahmân dan Rahîm adalah “perasan” dari sifat-sifat Allah lainnya.

Meneladani Rasulullah Saw
Allah menyifati Nabi Muhammad Saw, dengan penegasan sedemikian rupa, sebagai,
“Sungguh Engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung.” (Al-Qalam: 4).
Suatu ketika, seseorang pernah berkata kepada Imama ‘Ali as,
“Tolong gambarkan kepadaku budi pekerti Rasulullah.”, tanya dia.
“Bisakah Anda jelaskan dulu kepadaku, keajaiban dan kedahsyatan alam semesta ini?”, timpal Imam.
“Ah, tak mungkin. Alam ini terlalu luas dan agung!”, jawabnya.
“Bagaimana mungkin Aku dapat menggambarkan budi pekerti Rasulullah, yang Allah puji dalam Kitab-Nya sebagai bersifat ‘agung’ (‘azhîm); padahal dunia saja yang tak mampu Engkau lukiskan itu Allah gambarkan sebagai sesuatu yang ‘kecil’ (qalîl)?”, jawab Imam menyusul.
Dalam proses pendidikan Islam, harusnya Rasulullah-lah yang dijadikan poros keteladanan, sumber inspirasi. Sifat kasih Rasul, kesantunan dan rasa malunya yang begitu tinggi; ini semua harusnya dijadikan prioritas pengajaran.
Di dalam riwayat digambarkan, para sahabat pernah bertamu ke kediaman Nabi Saw hingga larut malam. Tetapi Nabi sangat malu untuk mengingatkan mereka agar segera pulang. Sampai akhirnya Nabi keluar berjalan-jalan, dan ketika kembali, ternyata mereka masih di rumah Nabi. Allah pun turunkan,
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak makanannya! Namun, jika kamu diundang, masuklah! Dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan! Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu, Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar. Dan Allah tidak malu menerangkan yang benar.” (Al-Azab: 53).
Tanpa mengurangi rasa hormat yang setinggi-tingginya kepada Sayidina ‘Umar, adalah keliru jika kita lebih bangga mengisahkan cerita-cerita tentang sifat keras dan tegasnya, tetapi pada saat yang sama justru ‘menenggelamkan’ dan menomor-duakan sifat santun Rasulullah Saw. Sebagai contoh, dalam riwayat disebutkan, Rasulullah pernah berpapasan dengan seorang perempuan tua yang mahir bermain musik. Rasul menyambutnya dengan senyuman. Namun, tiba-tiba wanita itu langsung lari saat melihat sahabat ‘Umar datang yang dikenal berperangai keras. Dengan nada santai, Rasul berkata, “Sayang sekali, ‘Umar, padahal wanita tua tadi mau memainkan musik, tetapi buru-buru lari karena takut kepadamu.” Dalam riwayat juga disebutkan, Sayidina ‘Umar pernah menawarkan diri kepada Rasulullah Saw untuk menebas leher orang Yahudi, yang bertindak tak sopan dan memaki-maki Rasulullah karena persoalan hutang.  Alih-alih mengiyakan, Rasul berkata, “Jangan, ‘Umar! Ingatkan saja dia agar lebih santun dalam menagih hutang.”
Keteladanan semacam inilah yang harusnya disampaikan. Namun yang terjadi malah sebaliknya, termasuk yang sering kita dengar dari mimbar-mimbar masjid. Jika kemudian lahir generasi Muslim radikalis-ekstremis, sedikit-banyak hal itu memang disebabkan oleh pendidikan Islam yang keliru sejak tingkat dasar, di samping kekeliruan paradigma dalam membaca sejarah dan menokohkan seseorang.
Sekali lagi, Allah Maha Cinta!
Di dalam Hadis Qudsi yang populer dalam tradisi tasawuf, Allah berkata:
“Aku sebelumnya (bukan dalam arti waktu serial)adalah perbendaharaan yang tersembunyi. Aku rindu untuk dikenali, maka Aku ciptakan makhluk, supaya Aku dikenali.”
Sebagai Pecinta dan Maha Cinta, Allah ‘butuh’ obyek untuk melimpahkan cinta-Nya. Dengan kata lain, Allah “sangat ingin” mencintai. Luapan cinta Allah ini kemudian mewujud dalam bentuk kebaikan-kebaikan yang mengambil bentuk alam semesta. Dari proses emanasi inilah mengada segala yang ada. Jadi, sudah terlalu melimpah doktrin dalam Islam yang mengajarkan tentang cinta dan kasih-sayang.

Bagaimana Mendidik Anak?

Untuk para guru dan orang tua, sedapat mungkin lakukan dua hal berikut untuk anak-anak kita di tingkat dasar, demi membendung arus dan pengaruh paham-paham radikal dan ekstrim dalam Islam.
Pertama, tunjukkan kasih sayang kepadanya. Rasa kasih sayang hanya akan tumbuh di dalam diri seorang anak, jika dia yakin merasa disayangi oleh orang lain.
Kedua, ajarkan Islam kepada mereka sebagai agama kasih sayang. Tak ada jalan lain, kecuali mengubah paradigma kita tentang Islam dari nomos oriented religion menuju eros oriented religion.



Comments

Popular posts from this blog

10 Mutiara yang akan diambil Jibril as.

رُوِىَ أَنَّ جِبْرِيْلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ نَزَلَ عَلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فىِ مَرَضِ مَوْتِهِ فَقاَلَ ياَجِبْرِيْلُ هَلْ تَنْزِلُ مِنْ بَعْدِى , فَقاَلَ نَعَمْ ياَرَسُوْلَ اللهِ أَنْزِلُ عَشْرَ مَرَّاتٍ أَرْفَعُ العَشْرَ الجَواَهِرِ مِنَ الأَرْضِ قاَلَ ياَ جِبْرَيْلُ وَماَتَرْفَعُ مِنْهاَ , قاَلَ , (الأَوَّلُ) أَرْفَعُ البَرَكَةَ مِنَ الأَرْضِ (وَالثَّانىِ) أَرْفَعُ المَحَبَّةَ مِنْ قُلُوْبِ الخَلْقِ (وَالثَّالِثُ) أَرْفَعُ الشُّفْقَةَ مِنْ قُلُوْبِ الأَقاَرِبِ (وَالرَّابِعُ) أَرْفَعُ العَدْلَ مِنَ الأُمَراَءِ (وَالخاَمِسُ) أَرْفَعُ الحَياَءَ مِنَ النِّساَءِ (وَالسَّادِسُ) أَرْفَعُ الصَّبْرَ مِنَ الفُقَراَءِ (وَالسَّابِعُ) أَرْفَعُ الوَرَعَ وَالزُهْدَ مِنَ العُلَماَءِ (وَالثَّامِنُ) أَرْفَعُ السَّخاَءَ مِنَ الأَغْنِياَءِ (وَالتَّاسِعُ) أَرْفَعُ القُرْآنَ (وَالعاَشِرُ) أَرْفَعُ الإِيْماَنَ Ketika Rasulullah dalam keadaan sakit yg menghantarkan belaiu wafat, malaikat Jibril datang menemuinya. Setelah berbincang sejenak Rasulullah bertanya kepada Jibril

KODE PINTAR ICD - X A-C

KODE PINTAR ICD 10                 A-C NO DIAGNOSA KODE ICD X A 1 Abdominal pain R10.4 2 Ablasi dan kerusakan retina H 33 3 Ablasio Retina / Cornea H33.2 4 Abortus iminens O20.0 5 Abortus infeksius O08.0 6 Abortus inkomplit O06.9 7 Abortus insiplens O02.1 8 Abortus lainnya O 05 9 Abortus medik O 04 10 Abortus spontan O 03 11 Abses(LUKA) L02.9 12 Abses abdominal K65.0 13 Abses Akilla L02.4 14 Abses apendicular/apendikes K 35.1 15 Abses app K35.1 16 Abses bartolin N75.1 17 Abses beplum J34.0 18 Abses CD N73.5 19 Abses cerebri Q06.0 20 Abses colli L02.1 21 Abses cornea H16.3 22

BASMALAH DALAM SURAT AL-FATIHAH

MembacaAl Fatihah merupakan rukun shalat, dan basmalah adalah salah satu ayat dari suratAl Fatihah. Karena itu menurut madzhab Syafi’iy, shalat tidak sah tanpa membaca basmalah. Dan AlFatihah itu dibaca ketika berdiri pada setiap rakaat.Pendapat ini berdasarkan pada:1. Sabda Rasulullah SAW : لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ   ( متفق عليه   ( ”Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca suratAl Fatihah”HR.Imam Bukhari sebagaimana dijelaskan Syaikh AsSyarbini: وَالْبَسْمَلَةُ آيَةٌ مِنْهَا اَيْ الْفَاتِحَةِلِمَا رُوِيَ أَنََّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَدَّ الفَاتِحَةَ سَبْعَ آيََاتٍ وَعَدَّ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ آيَةً مِنْهَا Basmalah salah satu ayat dari Al Fatihah karena diriwayatkan bahwa sesungguhnya Rasulullah SAWmenghitung ayat surat Al Fatihah ada tujuh ayat, dan RasulullahSAW menghitung bismillahirrahmanirrahim termasuk salah satu ayatnya”  Hadits riwayat Ad Daruquthni dari Abi Hurairah ra bahwaRasulullah SAW bersabda: