Madzhab secara bahasa artinya adalah
tempat untuk pergi. Berasal dari kata dzahaba – yadzhabu – dzihaaban .
Mahzab adalah isim makan dan isim zaman dari akar kata tersebut. Sedangkan
secara istilah, madzhab adalah sebuah metodologi ilmiah dalam mengambil
kesimpulan hukum dari kitabullah dan Sunnah Nabawiyah. Madzhab yang kita
maksudkan di sini adalah mazhab fiqih. Adapula yang memberikan pengertian
mazhab fiqih adalah sebuah metodologi fiqih khusus yang dijalani oleh seorang
ahli fiqih mujtahid, yang berbeda dengan ahli fiqih lain, yang menghantarkannya
memilih sejumlah hukum dalam kawasan ilmu furu’.
Nashiruddan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah
serta orang-orang yang sefaham dengannya melontarkan kritik kepada orang-orang
yang bertaqlid dan menyatakan bahwa taqlid dalam agama adalah haram. Mereka
juga mengkategorikan pemikiran madzhab Abu Hanifah, madzhab asy-Syafi’i dan
madzhab-madzhab lain yang berbeda-beda dalam mencetuskan hukum setara dengan
ta’addud asy-syari’ah (syariat yang berbilangan) yang terlarang dalam agama. (Lihat
Silsilah Ahadits adh-Dha‘ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah. )
Mereka juga tidak segan-segan lagi mengatakan bahwa madzhab
empat adalah bid’ah yang di munculkan dalam agama dan hasil pemikiran madzhab
bukan termasuk dari bagian agama. Bahkan ada juga yang mengatakan dengan lebih
ekstrim bahwa kitab para imam-imam (kitab salaf) adalah kitab yang menjadi
tembok penghalang kuat untuk memahami al-Qur’an maupun Sunnah dan menjadikan
penyebab mundur dan bodohnya umat.
Namun yang aneh dan lucu,
justru mereka kerap kali mengutip pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid
seperti: Izzuddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu
Daqiq al-Id, al-Iraqi, Ibnu Hazm, Syah Waliyullah ad-Dihlawi, Qadhi Husain,
Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani, adz-Dzahabi,
an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, as-Suyuthi, al-Khathib al-Baghdadi,
an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, Ibnu Rusyd, al-Bukhari dan lain-lain.
Padahal diri mereka berkeyakinan bahwa ulama-ulama di atas adalah orang yang
salah memilih jalan karena telah bertaqlid dan menghalalkannya.
Lalu jika begitu, sebandingkah seorang al-Albani dengan
ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya sehingga dia
mengharamkan taqlid? Apakah ulama-ulama di atas juga akan masuk neraka karena
melakukan dosa bertaqlid?Apakah ulama-ulama di atas juga bodoh tentang
al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah menurut mereka? Sebuah pertanyaan yang tidak
butuh jawaban, akan tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih
serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik yang berlebihan.
Jika di amati dengan seksama, orang-orang yang menolak
taqlid sebenarnya juga sering bertaqlid. Mereka mengambil hadits dari Shahih
al-Bukhari dan Muslim misalnya serta mengatakan bahwa haditsnya shahih karena
telah di teliti dan di kritisi oleh ahli hadits terkenal yaitu al-Bukhari dan
Muslim. Bukankah hal tersebut juga bagian dari bertaqlid dalam bidang
hadits? Bukankah juga, al-Bukhari adalah salah satu ulama pengikut madzhab
(asy-Syafi’i)? Kenapa mereka ingkar sebagian dan percaya sebagian? Lalu ketika
mereka mengikuti pemikiran Nashiruddin al-Albani, al-Utsaimin, Ibnu baz dan
lain-lain dengan sangat fanatik dan sangat berlebihan, di namakan apa?
Menurut orang-orang yang anti taqlid bahwa orang Islam harus
berijtihad dan mengambil hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah tanpa
bertaqlid sama sekali kepada siapapun. Pemahaman seperti ini muncul akibat
dari kebodohan mereka memahami dalil al-Qur’an dan Sunnah serta lupa dengan
sejarah Islam terdahulu (zaman Shahabat). Mereka juga tidak pernah berfikir
bahwa mewajibkan umat Islam berijtihad sendiri sama dengan menghancurkan agama
dari dalam, karena hal itu, tentu akan membuka pintu masuk memahami hukum
dengan ngawur bagi orang yang tidak ahlinya (tidak memenuhi kriteria mujtahid).
Yang sangat lucu di zaman sekarang, terutama di Indonesia,
banyak orang yang membaca dan mengetahui isi al-Qur’an dan Hadits hanya dari
terjemah-terjemah, lalu mereka dengan lantang menentang hasil ijtihad ulama
(mujtahid) dan ulama-ulama salaf terdahulu dan bahkan mengatakan juga, mereka
semua sesat dan ahli neraka. Bukankan hal itu malah akan menjadi lelucon
yang tidak lucu? Lagi-lagi bodoh menjadi faktor penyebab ingkar mereka.
Sedangakan menurut ulama, seseorang dapat menjadi
seorang mujtahid (punya kapasitas memahami hukum dari teks al-Qur’an maupun Hadits
secara langsung) harus memenuhi kriteria berikut: handal dibidang satu persatu
(mufradat) lafazh bahasa Arab, mampu membedakan kata musytarak (sekutuan) dari
yang tidak, mengetahui detail huruf jer (kalimah huruf dalam disiplin ilmu
Nahwu), mengetahui ma’na-ma’na huruf istifham (kata tanya) dan huruf syarat,
handal di bidang isi kandungan al-Qur’an, asbab nuzul (latar belakang di
turunkannya ayat), nasikh mansukh (hukum atau lafazh al-Qur’an yang dirubah
atau di ganti), muhkam dan mutasyabih, umum dan khusus, muthlak dan muqayyad,
fahwa al-Khithab, khithab at-Taklif dan mafhum muwafaqah serta mafhum
mukhalafah. Serta juga handal di bidang hadits Rasulallah baik di bidang
dirayah (mushthalah hadits atau kritik perawi hadits) dan riwayat, tanggap fikir
terhadap bentuk mashlahah umum dan lain-lain.Jika kriteria-kriteria di atas
tidak terpenuhi, maka kewajibannya adalah bertaqlid mengikuti mujtahid.
Kami tidak pernah mengatakan bahwa pintu gerbang ijtihad
telah tertutup, karena kesempatan menjadi mujtahid tetap terbuka sampai hari
kiyamat. Namun secara realita, siapakah sekarang ini ulama yang mampu
masuk derajat mujtahid seperti asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin
Hanbal dan lain-lain. Adakah doktor-doktor syari’at zaman sekarang yang
dapat disejajarkan dengan ulama-ulama pengikut madzhab seperti Imam an-Nawawi,
Ibnu Hajar dan lain-lain? Jika tidak ada yang dapat di sejajar dengan mereka,
lalu kenapa tiba-tiba mereka mendakwahkan diri berijtihad?
ketetapan wajib bertaqlid bagi orang yang belum sampai
derajat mujtahid adalah berdasar:
1. Dalil Al-Qur’an Q.S. an-Nahl: 43:
“Bertanyalah kalian semua kepada orang yang mempunyai
pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”
Dan sudah menjadi ijma’ ulama bahwa ayat tersebut
memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’
(mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa
ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang
belum mempunyai kapasitas istinbath [menggali hukum]) untuk mengikuti orang
alim yang mujtahid.
senada dengan ayat diatas didalam Qur`an surat At-Taubah
ayat 122;
فَلَوْلَا نَفَرَ
مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ (122)
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka Telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.( 122)
2. Ijma’
Maksudnya, sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf,
bahwa shahabat-shahabat Rasulallah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya,
dan tidak semua adalah ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan Ibnu
Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tapi mereka
ada yang memiliki kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit dibandingkan
dengan jumlah semua sahabat. Di antaranya juga ada mustafti atau muqallid
(sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat
golongan ini jumlahnya sangat banyak.
Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, ‘Umar,
‘Ustman, Ali, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin ‘Umar
dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.
3. Dalil akal
Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah
fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu: antara berfikir dan berijtihad
sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti
pendapat mujtahid.
Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena
dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad
dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya dan mempelajari
perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama sehingga pekerjaan dan
profesi ma’isyah pastinya akan terbengkalai. Klimaksnya dunia ini rusak. Maka
tidak salah kalau Dr. al-Buthi memberi judul salah satu kitabnya dengan “Tidak
bermadzhab adalah bid’ah yang paling berbahaya yang dapat menghancurkan agama”.
Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid.
(Allamadzhabiyah hlm. 70-73, Takhrij Ahadits al-Luma’ hlm. 348. ) Kesimpulannya
dalam hal taqlid ini adalah :
1. Wajib bagi orang yang tidak mampu ber-istinbath dari
Al-Qur’an dan Hadits.
2. Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat
ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriah sudah tidak ada ulama yang
memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik,
asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Sufyan ats-Tsauri, Dawud azh-Zhahiri dan lain-lain.
Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang
orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan
ulama-ulama, bahwa larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu
berijtihad dari Al-Qur’an dan Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena
bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama.
(Al-Mizan al-Kubra 1/62. )
Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-Ahkam yang
mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksudkan menurut beliau adalah untuk
orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan al-Buthi ketika menjawab
musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Balighah [1/157-155] karya Waliyullah
ad-Dihlawi yang menukil pendapat Ibnu Hazm tentang keharaman taqlid. ( Al-la
Madzhabiyyah hlm. 133 dan ‘Iqdul Jid fi Ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hlm. 22.
)
Dalam keyakinan orang-orang yang bermadzhab, antara taqlid
dan ittiba’ (mengikuti pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah
ditemukan bahasa atau istilah yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang
yang anti taqlid, meyakini adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga
jika mereka mengikuti pendapat ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu
Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain maka menurut mereka, itu adalah
bagian dari ittiba’ dan bukan taqlid. Karena menurut pehaman mereka, taqlid
adalah mengikuti imam madzhab yang akan selalu diikuti, meski imam madzhab
tersebut salah atau bisa di sebut taqlid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah
demikian. Sebuah statemen dangkal dan tidak berdasar sama sekali.
Mengenai masalah perbedaan dua kata diatas, pernah terjadi
dialog antara Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dengan seseorang tamu yang
datang kepada belaiau. Tamu tersebut berkeyakinan seperti di atas bahwa ada
perbedaan antara taqlid dan ittiba’. Kemudian Dr. al-Buthi menantang tamu
tersebut untuk membuktikan apa perbedaan antara dua kata tersebut, apakah
secara bahasa atau ishtilah dengan di persilahkan mengambil referensi dari
kitab lughat ata kamus bahasa Arab. Namun, tamu tersebut tidak mampu
membuktikan pernyataannya tersebut.
Sama seperti apa yang dilakukan oleh Dr. Al-Buthi, kami
juga menantang orang-orang yang mengharamkan taqlid lalu mereka juga mengambil
pendapat Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin al-Albani dan lain-lain dalam
tulisan dan pidato-pidato mereka, apakah hal itu termasuk taqlid atau ittiba’? Jika
mereka mengatakan bukan taqlid, maka klaim tersebut perlu di buktikan secara
ilmiyyah bukan asal bicara untuk membodohi umat.
Comments
Post a Comment