عن أبي هريرة رضي
الله عنه قَالَ: قِيْلَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ
فُلاَنَةً تَقُوْمُ اللَّيْلَ وَ تَصُوْمُ النَّهَارَ وَتَفْعَلُ وَ تَصَدَّقُ وَ
تُؤْذِي جِيْرَانَهَا بِلِسَانِهَا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم:
لاَ خَيْرَ فِيْهَا هِيَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ قَالُوْا: وَ فُلاَنَةً تُصَلِّى
اْلمَكْتُوْبَةَ وَ تَصَدَّقُ بِأَثْوَارٍ وَ لاَ تُؤْذِي أَحَدًا؟ فَقَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: هِيَ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ
Dari Abu Hurairah radliyallahu
anhu berkata, pernah ditanyakan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
“Wahai Rosulullah, sesungguhnya si Fulanah suka sholat malam, shoum di siang
hari, mengerjakan (berbagai kebaikan) dan bersedekah, hanyasaja ia suka
mengganggu para tetangganya dengan lisannya?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu
alaihi wa sallam, “Tiada kebaikan padanya, dia termasuk penghuni neraka”.
Mereka bertanya lagi, “Sesungguhnya si Fulanah (yang lain) mengerjakan (hanya)
sholat wajib dan bersedekah dengan sepotong keju, namun tidak pernah mengganggu
seorangpun?”. Bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Dia termasuk
penghuni surga”. [HR al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrod: 119, Ahmad: II/
440, al-Hakim: 7384 dan Ibnu Hibban.
Hadits ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.
Ibadah
ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus
harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadits di
atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh
kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain.
Hal ini
sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.
Allport,
psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.
Yang
ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama
dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia sholat, puasa,
atau membaca kitab suci, bukan untuk
meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya. Dia
beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam
dirinya.
Yang
kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama
ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh kedalam.
Misalnya
pada waktu bersamaan tiba-tiba anda menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih
salah satu : pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau
mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang anda
pilih?”
Orang
bijak akan menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi kan
dosa karena tidak sembahyang?”
“Kalau
memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke
surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.”
Bagi kita
yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di
mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan
mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata
Tuhan:
Kalau
engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.
Kalau
engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.
Kalau
engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Sebaliknya
“Kira-kira Tuhan suka yang mana dari
tiga orang ini.
Pertama, orang
yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang
negara.
Kedua, orang
yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana,
tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang
yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi,
dan penuh kasih sayang?”
Orang
bijak akan memilih orang yang ketiga.
Kalau
korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau
korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-
injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi
menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih
sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria
keshalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar keshalehan
seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di masjid/ yang lain.
Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial,
sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu
sesama.
Idealnya, orang
beragama itu mesti shalat atau lainya
tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih
sayang.
Agama
adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu
mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma
puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, kita
belum layak disebut orang yang beragama.
Tetapi,
bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin,
memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran
keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari keshalehan personalnya,
melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi
kesalehan sosial.
Orang
beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang
beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.
Orang yang
punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh’afin (kaum
tertindas).
Juga tidak
korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama
mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang
meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang
miskin meronta kelaparan.
Comments
Post a Comment