Kaidah Kalau Sekiranya Amal itu Baik, Mengapa Hal itu Tidak Dilakukan Oleh Rasulullah, Sahabat Dan Para Tabi'in? ”
Setiap ulama tentu saja punya sekian banyak hujjah untuk
menguatkan pendapatnya, termasuk juga hujjah untuk menjatuhkan pendapat
‘lawan’nya. Saling melemahkan pendapat lainnya selama masih dalam etika fiqih
ikhlitaf tentu saja dibenarkan. Sebab tujuan ijtihad memang untuk mendapatkan
hasil yang maksimal dan paling mendekati kebenaran. Bukan sekedar asal menang
atau asal benar sendiri.
Di antara bentuk hujjah yang seringkali diajukan oleh para
ulama ketika menafikan suatu amal dari kesunnahan adalah apa yang telah Anda
sebutkan, yaitu argumentasi bila sautu amal memang baik, mengapa tidak
dikerjakan secara langsung oleh Rasulullah SAW dan para shahabat?
Argumentasi seperti ini tentu kuat sekali, sebab semua ulama
sepakat untuk mengatakan bahwa ibadah ritual itu haruslah selalu mengacu kepada
apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Bila tidak ada keterangan yang valid
dari Rasulullah SAW, maka suatuamal itu tidak bisa dinisbahkan kepada beliau
SAW.
Sampai di sini para ulama tentu saja sepakat dan bersuara
bulat. Namun masalahnya bukan hanya berhenti sampai di sini. Sebab para ulama
pun berbeda pandangan ketika menyimpulkan hasil dari sekian juta hadits yang
berserakan. Antara lain karena:
a. Mereka berbeda pendapat ketika menshahihkan suatu
hadits
Sudah bukan rahasia lagi bahwa para ulama berbeda pandangan
dalam menghukumi setiap hadits. Ketika ulama A mengatakan bahwa suatu hadits
itu shahih, sebenarnya status keshahihan itu masih bersifat subjektif kepada
yang mengatakannya. Boleh jadi hadits itu shahih dalam kerangka kriteria
seorang ahli hadits, namun belum tentu hadits itu shahih buat ulama lainnya.
Dari sini saja kita sudah bisa menduga bahwa kalau hukum
atas derajat suatu hadits itu masih mungkin berbeda-beda, tentu saja ketika
mengambil kesimpulan apakah suatu amal itu merupakan sunnah dari Rasulullah SAW
pun berbeda juga.
b. Mereka berbeda dalam mengambil kesimpulan hukum
atas suatu amal
Katakanlah para ulama hadits sudah sepakat atas suatu amal,
bahwa amal tersebut disebutkan di dalam suatu hadits yang shahih. Namun
masalahnya belum selesai. Mereka masih sangat mungkin berbeda pendapat dalam
pengambilan kesimpulannya.
Tiga Macam Sunnah
Selain kedua hal di atas, para ulama pun mengenal tiga macam
sunnah yang sumbernya dari diri Rasulullah SAW. Ada sunnah yang pernah
dilakukan langsung oleh beliau, namanya sunnah fi’liyah. Misalnya ibadah
shalat sunnah seperti shalat dhuha’, puasa Senin Kamis, makan dengan tangan
kanan dan lainnya. Para shahabat melihat langsung beliau melakukannya, kemudian
meriwayatkannya kepada kita.
Yang kedua adalah sunnah di mana Rasulullah SAW hanya
memerintahkannya saja, disebut dengan sunnah qauliyah. Riwayat yang
sampai kepada kita hanya sekedar ada perintah baik yang berupa kewajiban,
saran, anjuran atau himbauan. Tetapi belum tentu kita mendapatkan dalil bahwa
Rasulllah SAW pernah mengejakannya secara langsung.
Ambil contoh misalnya masalah berenang. Kita semua tahu
bahwa beliau SAW memerintah kita untuk mengajarkan anak-anak belajar berenang.
Tapi sepanjang yang kita tahu dari hadits, belum pernah kita dengar bahwa
Rasulullah SAW suatu ketika ketahuan sedang belajar berenang secara langsung.
Atau ada suatu kelas khusus di mana Rasululah SAW dan para shahabat ikut kursus
renang. Waallahu a’lam bishsawab, apakah ada hadits yang meriwayatkan hal itu.
Yang kita selama ini hanya perintahnya saja untuk belajar berenang.
Dan yang ketiga adalah sunnah di mana Rasulullah SAW tidak melakukannya langsung, juga tidak pernah memerintahkannya dengan lisannya, namun hanya mendiamkannya saja. Sunnah yang terakhir ini seringkali disebut dengan sunnah taqririyah.
Kesimpulan Hukum Tentang Zikir Berjamaah: Masalah
Khilaf
Salah satu contohnya adalah masalah zikir berjamaah, di mana
begitu banyak hadits yang menyebutkan bahwa para malaikat turun kepada mereka
dan memberikan naungannya dengan sayap-sayap mereka ke dalam majelis zikir itu.
Hadits yang seperti ini tidak hanya satu dan dilihat dari segi hukum derajatnya
pun termasuk hadits yang umumnya dishahihkan para ulama.
Tinggal mereka berbeda dalam menyimpulkan hukumnya. Sebagian
ulama mengatakan bahwa majelis zikir itu maksudnya bukan zikir massal bersama
dengan satu komandan, melainkan zikir masing-masing. Jadi kalau zikir massal
satu komando -menurut mereka- tetap tidak boleh. Yang lain lagi mengatakan
bahwa majelis zikir itu maksudnya adalah majelis ilmu, bukan zikir massal. Dan
yang lain lagi mengatakan hal yang lain lagi.
Padahal dari segi kekuatan derajat haditsnya telah mereka
sepakati, tapi kesimpulan hukumnya tetap saja berbeda-beda. Lantaran mereka pun
memiliki cara memahami hadits itu dengan cara yang berbeda pula.
Kalau kita kaitkan dengan pertanyaan yang Anda sampai di
muka, mereka yang mendukung zikir massal mengatakan bahwa meski tidak ada
sunnah fi’liyah bukan berarti zikir massal itu menjadi bid’ah, sehingga
pelakunya berdoa dan masuk neraka. Sebab masih ada dalil lain yang menguatkan
masyru’iyah zikir massal itu meski hanya sunnah qauliyah. Sunnah qauliyah itu
adalah sunnah Rasulullah SAW yang keterangannya sampai kepadanya kita bukan
dengan cara dicontohkan, melainkan dengan disebutkan atau diucapkan. Dimana
ucapan itu tidak selalu berbentuk fi’il amr , tetapi bisa saja dalam bentuk
anjuran, janji pahala, ancaman siksa dan sebagainya.
Bagaimana mungkin suatu amal yang didukung dengan dalil
sunnah qauliyah itu disimpulkan menjadi hukum bid’ah?
Walhasil, kalau kita cermati argumen demi argumen
masing-masing ulama, kita harus kagum dengan kemampuan mereka dalam berhujjah.
Ini adalah sebuah level keilmiyahan tingkat tinggi, di mana kita hanya mampu
berdecak kagum sambil manggut-manggut bila membaca dialog mereka.
Comments
Post a Comment